Oleh: BAYU A. YULIANTO
Dosen Sosiolog Universitas Indonesia
Hal tersebut tak lepas dari dua persoalan pokok yang kerap diungkapkan oleh piÂhak-pihak yang meraÂsa pesimis dengan trend batu akik beberapa bulan yang lalu.
Yang pertama, adalah para ekonom dan sebagian pelaku usaÂha yang menganggap bahwa trend akik ini tidak lebih dari fenomÂena “monkey businessâ€, dan yang kedua, pengamat sosial budaya yang melihat bahwa penggemar batu akik adalah mereka yang sedang melakukan satu proses eskapisme kolektif di dalam keruÂmitan hidupnya. Pertanyaannya, apakah sesederhana itu penjelasÂannya ??
Bukan Bisnis Monyet
Terkait dengan fenomena batu akik yang dalam beberapa bulan lalu menjadi tren di kalangan maÂsyarakat Indonesia, baik itu yang berkantong tebal maupun yang berkantong tipis, ada beberapa hal menarik yang bisa dijelaskan dari sudut pandang sosiologis.
Terutama dalam menjawab pandangan berbagai pihak yang pesimis terhadap gejala per-akik-kan di Indonesia.
Pandangan yang mengangÂgap bahwa akik tak ubahnya sepÂerti monkey business, seperti yang pernah terjadi dalam bisnis-bisnis berbasiskan hobi, seperti tanaman anturium maupun ikan louhan.
Atau juga dalam menjawab tudingan berbagai pihak yang melihat akik sebagai satu situasi proses eskatologisasi massal, diÂmana seseorang atau sekelompok masyarakat mencari cara untuk melarikan diri dari kenyataan soÂsial yang setiap hari menghimpit mereka, singkatnya, lari dari maÂsalah hidup.
Atas dua pandangan umum itu, saya hendak menjawab satu persatu dari sudut pandang yang agak berbeda. Pertama, terkait dengan fenomena akik sebagai monkey business.
Menurut saya cara pandang ini lahir dari satu pemahaman, keÂtika bisnis-bisnis yang berbasiskan hobi, seringkali tidak berangkat dari satu situasi pasar yang semÂpurna, karena terlalu banyaknya informasi asimetris yang beredar seiring dengan maraknya penjuaÂlan terhadap barang tersebut.
Informasi asimetris yang diÂanggap sengaja dihembuskan oleh sekelompok orang yang dianggap menjadi mafia dari bisnis ini sendÂiri, sehingga mekanisme penciptaÂan harga berlangsung dengan cara yang sulit untuk dijelaskan, dan harga yang tercipta juga seringkali tidak masuk akal, jika dibandingÂkan dengan kondisi barang serta korbanan yang dilakukan dalam proses menjadikan barang itu sendiri.
Pandangan ini mungkin ada benarnya dalam konteks bisnis batu akik, tetapi perlu untuk dilihat kembali, apakah prinsip-prinsip tersebut benar-benar terÂjadi dalam konteks perakikan. Jawaban saya, sepertinya tidak demikian.
Monkey Business
Bahwa ada para pemain di dalam bisnis batu akik yang seringkali kita sederhanakan denÂgan menyebut mereka sebagai mafia, hal itu mungkin saja, tetapi bukan berarti itu bisa membenarÂkan bahwa bisnis ini masuk dalam kategori monkey business.
Karena menurut pendapat saya, hampir semua bisnis, tak terkecuali bisnis yang berbasiskan hobi, memiliki pemain-pemain sendiri, termasuk pihak yang bisa kita kategorikan sebagai mafia.
Jangankan bisnis kecil seperti batu akik, bisnis beras ataupun minyak saja, keberadaan mafia tidak mungkin bisa dihindari. Karena secara historis, usia maÂfia mungkin sejalan dengan usia sistem perdagangan itu sendiri.
Mafia bisnis lahir sama persis ketika zaman perdagangan itu laÂhir. Dia menjadi sisi paradox dari lahirnya zaman perdagangan. Oleh karenanya, mengalamatkan keberadaan mafia demi menjusÂtifikasi bahwa bisnis batu akik adalah monkey business, seperÂtinya terlalu menyerderhanakan permasalahan.
Selanjutnya, mensejajarkan demam batu akik di masyarakat dengan demam tanaman gelomÂbang cinta dan bisnis ikan louhan juga sepertinya kurang tepat.
Karena menurut saya ada beÂberapa perbedaan yang cukup mendasar antara femonena terseÂbut. Perbedaan-perbedaan itu meliputi akar sejarah dari pengguÂnaan batu akik oleh masyarakat.
Kelompok masyarakat yang terlanda demam tersebut, serta nilai tambah yang tertambat di dalam proses produksi komoditas itu. Perbedaan ini akan saya jelasÂkan satu persatu.
Secara historis, penggunaan batu akik berakar dari pengguÂnaan batu mulia atau batuan langÂka yang menjadi pelengkap dari perhiasan-perhiasan yang diguÂnakan oleh kalangan bangsawan kerajaan di masa lampau.
Batu-batu mulia yang memiliki nilai estetika yang tinggi karena tingkat kelangkaannya, dalam beÂberapa jenis nilainya menyamai atau bahkan mengungguli jenis batuan seperti emas ataupun perÂak.
Sebut saja batu mulia seperti ruby, merah delima, atau yang paling tinggi, seperti permata. Batu-batu itu sudah sejak lama menjadi batu mulia yang memiliki harga yang cukup tinggi.
Penggemarnya relatif mereka yang memiliki posisi sosial dan ekonomi yang tinggi di masyaraÂkat. Pada masa lampau, hanya mereka yang merupakan anggota kerajaan ataupun bangsawan saja yang dapat memiliki perhiasan bertahtakan batu-batu mulia sepÂerti ini.
Pada masa sekarang, jelas hanÂya mereka yang terkategorikan seÂbagai orang kaya yang bisa mengÂkoleksi batu-batu mulia sejenis ini.
Penjelasan singkat itu menuÂrut saya cukup menggambarkan bagaimana secara historis, pengÂgunaan batu akik memiliki akar sejarah yang cukup panjang.
Demam akik juga tidak menÂgenal suku bangsa, hampir di seÂluruh wilayah Indonesia bermunÂculan jenis-jenis akik baru yang memiliki nuansa lokalitas dan dalam prosesnya mampu menemÂbus pasar di tingkat nasional, seÂbut saja Pancawarna Garut, Sisik Naga Enrekang, Sungai Dareh Sumbar, Giok Aceh, Kalimaya Banten, dan lain sebagainya.
Bisa dikatakan, saat ini tidak ada satupun dominasi jenis akik di pasaran. Setiap hari, ada saja jenis akik lokal yang muncul di pasar akik. (*)