Oleh: ICHDINAS S. MUSTAQIM
Penulis adalah Pembelajar Budaya;Â Wakil Sekretaris DPW BM PAN DKI Jakarta
Dipelopori pemuda luÂlusan Univ. Harvard Amerika Serikat, Nadiem Makarim membangun G# – Jek sebagai perusahaan penyedia jasa transportasi roda dua. Dan sukses.
Dalam waktu singkat saja, sejak awal tahun 2015 user yang mengunduh aplikasi G# – Jek beÂsutannya itu mencapai 650.000 orang dengan pertumbuhan penÂgojek mencapai 10.000 orang yang bergabung (kompas online – 28/Juli/2015).
Setelah sukses di Jakarta, perusahaan yang mendapatkan bantuan dana dari investor NortÂstar Group, Singapura itu terus mengembangkan sayapnya ke kota-kota besar di Indonesia, sepÂerti Bandung dan Surabaya.
Dengan kesuksesan yang diÂperoleh G# – Jek itu, kemudian bermunculanlah perusahaan-peÂrusahan lain, seperti G##B Bike, dan Bl# Jek sebagai perusahaan pesaing.
Tentu dengan konsep pelayÂanan yang sama: berbasis aplikasi internet melalui smartphone, serÂta ditunjang dengan biaya promoÂsi besar-besaran, yang tentu saja bakal menarik penggunannya.
Lalu bagaimana dengan Ojeg tradisional atau istilah media menyingkatnya menjadi Opang (Ojeg Pangkalan)?
Belakangan setelah munculÂnya G# – Jek, dll (penulis menÂgistilahkannya “OPERâ€: Ojeg Perusahaan), penolakkan demi penolakkan dari Ojeg Pangkalan pun kerap terjadi di beberapa tiÂtik Ibu Kota.
Baik berupa kekerasan fisik, maupun intimidasi yang bersifat verbal atupun vadalisme. Selain itu ada juga aksi grafiti berupa pemasangan spanduk-spanduk yang inti pesannya ialah penolak-kan terhadap “OPERâ€.
Dengan maraknya penolakÂkan-penolakkan tersebut, maka Gubernur DKI Jakarta dan InÂstitusi Kepolisian pun langsung meresponnya sesuai tupoksinya masing-masing dengan arguÂmentasi yang menurut saya berÂmuara pada dua hal: 1). Pelaku kekerasan (pelanggaran) harus ditindak sesuai hukum yang berÂlaku; 2). Urgensi tentang revisi UU transportasi sebagai payung hukum eksistesi keberadaan Ojeg (Perusahaan?).
Inilah repotnya era globalisaÂsi, dimana teknologi merupakan pondasi dari gerak kehidupanÂnya, sehingga begitu mudahnya masyarakat kita melupakan tren lama tanpa mau mengingat seÂdikit saja manfaat keberadaan ojeg dulu.
Sehingga dengan mudahnya melalui pelbagai media sosial masyarakat menghujat Ojeg Pangkalan, padahal disaat maÂsyarakat tengah berpergiaan, lalu kebingungan atau tersesat mencari tujuan, maka Ojeg PanÂgkalan tempat mereka bertanya, atau berlindung di saat menungÂgu kerabat atau keluarga, atau melanjutkan perjalanan kembali.
Dan para Ojeg Pangkalan-lah yang juga paling respontif meÂnolong di saat ada orang yang terÂkena musibah kecelakaan lalu linÂtas atau kejahatan di jalan raya.
Inilah sejatinya masyarakat kecil mencontohkan semangat tolong-menolong kepada sesaÂmanya, semangat itu pula yang menginspirasi ide-ide Bung KarÂno, Bung Hatta,juga Bung-Bung masa lalu, manusia pergerakan dalam membangun prinsip-prinÂsip kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari pangkalan Ojeg mereka yang hidup senasib, mendiskusiÂkan dinamika kehidupan keluÂarga, lingkungan, daerah, hingga nasional.
Dari tempat itulah semangat gotong-royong, serta solidaritas kebangsaan tumbuh subur berÂsemi. Karena itu tidaklah berlebiÂhan jika Pangkalan Ojeg disebut sebagai salahsatu wadah budaya nenek moyang kita hidup.
Dan tentu tidak seperti konÂsep yang OPER buat, dimana menggiring masyarakat kita pada budaya individualis, sebab konÂsep teknologinya dibuat untuk memudahkan pengojeg pada konsumennya tanpa harus berÂkumpul di pangkalan.
Dipandang dari sudut efeÂsiensi dan perkembangan jaman, penerapan teknologi memang seÂbuah keharusan, apalagi perkemÂbangan informasi melalui interÂnet saat ini seperti sudah menjadi kebutuhan masyarakat dunia.
Tetapi dengan melulu meÂnyudutkan Ojeg tanpa melihat latar belakang masalahnya tentu ini juga sepihak dan tidak boleh dibiarkan.
Di sini pemerintah yang harus bertindak adil. Apalagi menurut “sejarahnya†Ojeg merupakan murni ide kreatifitas yang dicipÂtakan masyarakat pedesaan (kecil) dengan memanfaat peluÂangketika negara belum mampu mengadakan moda transportasi yang mampu mengakses daerah-daerah (desa) terpencil.
Belum mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang luas. Ojeg sebenarnya merupakan akÂronim yang diciptakan masyaraÂkat sunda (Jawa Barat), yaitu “Ongkos Ngajegang†dalam istiÂlah lain “ngangkangâ€.
Hingga pasca model pemÂbelian kendaraan bermotor meÂlalui sistem kredit secara massal diminati masyarakat inilah keÂmudian menjadi menjamurnya pangkalan-pangkalan ojeg ke daerah-daerah lain di IndoneÂsia, dan menjadi tren saat ini di perkotaan.
Dan sudah tentu, selain ekoÂnomi, setoran kredit ialah alasan utamanya profesi itu.
Jadi jauh sebelum penggagas G# – Jek mengklaim dan diapresiÂasi banyak pihak karena dianggap “pandai†dan berhasil mencipÂtakan lapangan pekerjaan.
Sebenarnya masyarakat keÂcillah yang lebih dulu diberikan penghargaan atas jasa-jasanya memberdayakan dirinya sendiri disaat pemerintah belum mampu menyediakan lapangan pekerÂjaan dan moda transportasi yang mampu menjangkau daerah-daeÂrah pedalaman.
Bagi penulis, “sengketa†yang terjadi di lapangan, merupakan nalar reaksi alamiah yang dilakuÂkan Ojeg Pangkalan yang secara harfiah tentu dapat terbaca denÂgan mudah. Sebab siapapun akan marah jika ide kreatif dan potensi usahanya “dibajak†orang lain.
Terlebih lagi penerapan teknologi dan promosi yang luar biasa dasyat tentu berdampak merugikan bagi Ojeg Pangkalan. Alvin Tolffer, seorang futurolog, yang dikenal dengan buku-buÂkunya membahas revolusi digiÂtal; komunikasi; dan singularitas teknologi, sudah meramalkan dengan teorinya tiga gelombang perubahan jaman: pertanian; inÂdustri; dan informasi (hari ini).
Jadi penerapan teknologi inÂformasi pada suatu bidang peÂkerjaan sebenarnya sudah dipeÂta-kan oleh Tolfer. Sehingga apa yang dilakukan pendiri G# – Jek, sesungguhnya bukan hal baru dan hanya tinggal memilih segÂmen apa yang dianggap paling menguntungkan.
Toh, pada gilirannya semua bidang sudah mulai mengarah (menerapkan) teknologi inforÂmasi dan komunikasi yang sama. Belanja online ialah salah satu pelopornya.
Hemat penulis, perusahaan-perusahaan ojeg yang kini tengah menjamur sebenarnya tak lebih merupakan “mediator†(pelantaÂra), atau dalam istilah kampungÂnya: CALO penumpang.
Pemilik modal yang “kreatif†merampas ide kreatif masyaraÂkat kecil. Mengambil keuntunÂgan dari kebutuhan pasar (konÂsumen) yang besar.
Sama halnya dengan pengraÂjin bumbu masak terasi sebagai produk budaya (juga penggerak sosial-ekonomi) masyarakat pesiÂsir pantai yang eksistensinya terÂus tergerus oleh terasi pabrikan.
Begitu juga dengan kopi seduh yang dulu menjadi ciri khas daerah-daerah di Indonesia, kini nyaris diseragamkan oleh kopi pabrikan. Inilah bentuk nyaÂta kejahatan ekonomi (?).
Akibatnya fenomena ini berÂdampak pada hilangnya isntÂing kreatif dan keterampilan masyarakat kita dalam mencipÂtakan produk kebudayaannya, sebagaimana diwariskan nenek moyang Nusantara—kini berubah menjadi tenaga “marketing graÂtis†(pedagang asongan; warung klontong; kedai kopi) aneka produk pemilik modal.
Padahal tidak sedikit ide kreÂatifnya sebenarnya bersumber dari masyarakat kecil.Disinilah keberpihakan pemerintah diuji.
Disinilah kehadiran pemerinÂtah diharapkan. Bukan sekadar menjadi wasit, tetapi melindungi siapa pemilik sah sebenarnya. Jika ternyata OPER merupakan jalan halal pada era saat ini.
Maka tidak ada salahnya pemerintah membuat semacam badan usaha yang benar-benar mampu mengakomodir pengeÂmudi Ojeg Pangkalan dengan seÂgala dinamika dan masalahnya. Tentu dengan konsep seimbang dengan keberadaan OPER.
Jika tidak bisa, buatlah reguÂlasi yang (seumpama) membagi wilayah operasi. Jika ternyata juga tidak mampu, berterima kasihlah pada Ojeg Pangkalan karena telah banyak membatu masyarakat dan pemerintah, seÂbelum mereka benar-benar hiÂlang tergerus jaman.
Sebelum itu pertimbangkan pernyataan ini, “Hal yang mustaÂhil. Bagaimana bisa menuliskan identitas “Ojeg†(G jadi K) saja keÂliru, apalagi mengkalimnya menÂjadi karya anak bangsa!†(*)
Sumber : detik.com