Oleh: MAHENDRA
Peminat masalah aparatur sipil nasional, tinggal di Jakarta
Dimulai dengan menÂgambil tonggak kesÂejarahannya di awal Revolusi Indonesia 1945-1950 hingga berakhirnya perjalanan pada masa Orde Lama, pegawai negeri dikenal sebagai pegawai yang “dikotak-kotakkanâ€. Dalam sistem multipartai waktu itu, keberadaan pegawai bukanlah sekedar tempat penyaluran aspirasi dari simpaÂtisan partai politik (parpol) terÂtentu. Namun, pegawai adalah konstituen aktif sebagai anggota partai. Beberapa kali penggantian sistem pemerintahan presiden, partai juga dijadikan panglima untuk mencapai tujuan dominasi sektoral departemennya.
Misalnya, mengapa di jajaran Departemen Dalam Negeri dan Departemen Pendidikan selalu didominasi dari unsur Partai NaÂsional Indonesia (PNI) atau di jajaÂran Departemen Agama selalu diÂdominasi unsur Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, tak heran untuk mencapai tujuan-tujuan politis tersebut, sering kali loyalitas dan visi partai lebih besar dan domiÂnan dibandingkan loyalitas dan visi pengabdian kepada negara.
Setelah berakhir dan memaÂsuki pergantian rezim, bukan lagi orang-orang pemerintahan pegawai yang dikotak-kotakkan, melainkan pegawai “diwadahi†untuk dimobilisasi dengan alasan keutuhan dan persatuan korps agar tidak terpecah belah. Dengan kelahiran wadahnya berdasarkan Keppres No 82/71 tentang Korpri, eksistensinya semakin diperkuat setelah lahirnya UU Pokok tenÂtang Kepegawaian (UU No 8/1974) yang mengakumulasikan muatan materi pokok jalannya kepegaÂwaian nasional. Undang-undang ini telah membawa pemerintahan Orde Baru yang bercorak sentralistis dan monoloyalitis. Secara eksplisit ini semakin memperkuat dan mendudukkan PNS dalam waÂdah tunggalnya, Korpri.
UU Kepegawaian ini telah membawa PNS ke dalam sistem politik loyalitas pemenangan dengan monoelektoral. PNS adalah anggota Golongan Karya (Golkar) dan anggota Golkar adalah angÂgota Korpri, telah dikenal menjadi diktum yang tak terbantahkan.
Di perjalanannya memasuki euforia reformasi, situasi ketatanegaraan mulai berbenah diri, meskipun tidaklah tampak dalam proses awal. Pada awal memasuki reformasi, konstitusi juga belum diamendemen, sistem desentralÂisasi dan otonomi juga baru dimuÂlai, yang sedang sejalan memasuki dimulainya sistem pemerintahan yang lebih demokratis.
Sejalan dengan itu, pemÂbaruan UU No 43/1999 tentang Perubahan UU No 8/74 (pengganti UU Pokok Kepegawaian No 8/74 yang seharusnya mengalami pemÂbaruannya), juga tidak segera terÂjadi. Dalam kondisi pegawai yang demikian, memang benar pada awal tahun-tahun reformasi samÂpai sekarang, modus keberadaan pegawai tidak lagi dikotak-kotakÂkan untuk berafiliasi kepada salah satu partai. Namun, situasi sekaÂrang malah membawa keberadaan pegawai menjadi anomali karena netralitas menjadi amat komÂpleks untuk dikendalikan.
Dua Konsep
Dalam naungan wadah status quo, Korps Pegawai Republik InÂdonesia (Korpri) kini disuratkan sedang memasuki sejarah baruÂnya dalam UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Amanat UU ini tersirat maupun tersurat oleh bunyi Pasal 126, Korpri menÂjadi Korps Profesi Pegawai ASN (KPP ASN). Sebuah wadah tungÂgal korps yang (sedang) dirancang dalam jenjang peraturan pemerinÂtah (PP), yang kemudian berkemÂbang dalam dua gagasan konsep.
Konsep pertama, datang dari anggota pengurus korps bersama (sebagian) simpatisan ASN karena stelsel aktifnya. Mereka relatif cenderung menghendaki kehadiran korps “di dalam kediÂnasan†seperti sekarang. Konsep kedua, datang karena putusan politik pembuat UU di kalangan pemangku kebijakan pemerintah berÂsama dewan perwakilan. Mereka didorong semangat dan jiwa keproÂfesian UU ASN, yang menganggapÂnya usang karena sudah tak sejalan lagi dengan visi dan semangat kesejarahan Korpri di masa lalu. PanÂdangan terakhir ini juga didukung simpatisan massa pegawai ASN yang secara stelsel aktif pula, dari (sebagian) yang lain.
Bila niatan konsep pertama seperti di atas atau konsep korps yang terintegrasi diputuskan sebÂagai pilihan wadah tunggal organisasi KPP ASN dan sebagai jalan masuk pemerintahan presiden sekarang, bisa saja. Dengan cara menyiasati “sebatas penamaanÂnya†menjadi KPP ASN serta menÂdayagunakan kembali semangat, doktrin, maupun aturan-aturanÂnya yang ada seperti sekarang pula. Berarti kemudian, KPP ASN versi ini dapat saja ditarik dalam asumsi yang berbeda. Bila konsep yang kedua, KPP ASN seÂbagai konsep yang independen, berarti membawa arah KPP ASN dalam entitas yang memiliki jaraÂknya dengan pemerintahan. Dalam kelaziman institusionalnya disebut sebagai lembaga nonÂstruktural (LNS), dengan cara kerÂja yang mandiri atau independen.
Dengan komitmen atas keÂmandiriannya ini, korps yang akan dibangun nantinya memÂberi penekanan kuat agar sistem manajemen ASN hanya berfokus pada soal-soal yang memenuhi pekerjaan profesionalitas atas keprofesian. Bukan untuk mengÂgoyang-goyangkan netralitasnya, apalagi untuk dipersembahkan tenaga dan pikirannya demi keÂpentingan politik tertentu atau pemilihan kepala daerah tertentu, sebagaimana yang akhir-akhir ini terjadi dan ramai dibicarakan.
HUT Korpri pada 29 NovemÂber bisa menjadi awalan baik unÂtuk memperbaiki kinerja korps. Selain itu, Musyawarah Nasional Korpri VIII yang ditetapkan pada 3-5 Desember 2016, juga menjadi momentum terbaik bagi Korpri melewati masa silam untuk meÂmasuki sejarah barunya, tentu dalam ruang demokratisasi yang menjadi hak asasi segenap koÂrps. Utamanya dengan menguji sejauh mana stesel aktif jumlah kerberadaan 4,7 juta ASN nasional yang berada di kementerian/lemÂbaga pusat, serta di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota.
Alangkah baiknya dipikirkan bagaimana bentuk kedudukannya nanti. Tidaklah berlebihan tulisan ini dengan kerendahan hati mengajak segenap masyarakat aparaÂtur bisa sedikit berpikir atas piliÂhannya untuk kemudian bersuara menyalurkan aspirasi merujuk dua konsep atau mungkin lebih? Selamat HUT ke-44 Korpri dan seÂlamat bermusyawarah.
sumber : sinarharapan.co