Bank Indonesia (BI) dan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) Badan Reserse KrimiÂnal Polri mengungkapkan tren peredaran uang palsu kembali marak terÂjadi tahun ini.
Sampai akhir kuartal I 2016, bank senÂtral dan Polri telah menangani 44 kasus peÂnyebaran uang palsu. Jumlah kasus penyebÂaran uang palsu selama tiga bulan pertama di 2016, terlihat naik signifikan dibandingÂkan dengan kasus penyebaran uang palsu sepanjang 2014 yang tercatat hanya 47 kaÂsus. Sedangkan sepanjang tahun lalu, BI dan Polri tercatat menangani 65 kasus.
Kepala Divisi Penanggulangan Uang Palsu Bank Indonesia Hasiholan Siahaan menjelaskan, jika pada 2014 perbandingan jumlah uang palsu dengan uang asli adalah dari satu juta lembar yang disebar terdapat sembilan uang palsu. Sedangkan di 2015 dari satu juta yang disebar angka uang palÂsunya meningkat menjadi 21 lembar.
“Di 2014 ada 120.417 lembar (uang palsu yang beredar), lalu di 2015 ada 319.641 lemÂbar. Sekarang saja sampai Maret ada 55.441 lembar uang palsu,†kata Hasiholan di JaÂkarta, Senin (23/5).
Dengan angka-angka tersebut, HasiÂholan mengungkapkan bahwa peredaÂran uang palsu di Indonesia sudah masuk dalam taraf mengkhawatirkan. Agar maÂsyarakat tak tertipu dengan uang itu, HasiÂholan kembali mengingatkan sistem 3D yang dulu sering disosialisasikan BI.
“Masyarakat harus perhatikan 3D, yaitu dilihat, diraba, diterawaÂng,†katanya.
Nasehat tersebut secara khusus Hasiholan sampaikan bagi masyaraÂkat yang tinggal di Pulau Jawa dan Bali karena data di 2015 saja peredaÂran paling banyak berasal di dua puÂlau tersebut. Jawa Timur menduduki posisi pertama diikuti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan teraÂkhir Bali. “Transaksi uang di Pulau Jawa memang cukup tinggi sehingga risikonya juga tinggi,†ujar Hasiholan.