SIDANG perdana kasus dugaan korupsi pen­gadaan lahan untuk relokasi PKL di Pasar Jam­bu Dua, mulai menguak tabir baru. Tiga orang penting di Balaikota Bogor yakni Walikota Bima Arya, Wakil Walikota Usmar Hariman, dan Sekdakot Ade Sarip Hidayat disebut-sebut ikut terlibat dalam proses transaksi tanah mi­lik Angkahong itu.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut secara gamblang dalam tuntutannya bahwa keterlibatan ketiga petinggi Pemkot Bogor itu telah ikut menimbulkan kerugian negara hing­ga Rp kerugian keuangan negara, sebesar Rp 28.400.533.057.

Apa makna dari penyebutan tiga peja­bat tinggi di Balaikota Bogor itu? Secara hu­kum, ketiga pejabat tersebut dimungkinkan berubah status dari saksi menjadi tersangka. Namun perubahan status tersebut baru akan terlihat jelas setelah semua fakta hukum di persidangan terkuak secara nyata dan jelas.

Namun, secara politis pejabat setingkat ke­pala daerah bisa saja diselamatkan atas dasar pertimbangan politis. Tetapi penyelamatan secara politis biasanya tak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ini artinya, ketika kekua­saan tak lagi melekat pada pejabat tersebut, misalnya dia tak jadi walikota lagi, maka bisa saja status tersangka menghampirinya. Sejarah peradilan di Indonesia sudah banyak memberi­kan contoh kasus penyelamatan secara politis.

Kekhawatiran adanya keterkaitan Walikota Bima Arya, Wakil Walikota Usmar Hariman, dan Sekdakot Ade Sarip Hidayat dalam kasus dugaan mark up pembelian tanah di jalan buntu milik Angkahong ini, sudah dirasakan masyara­kat cukup lama. Bahkan sebelum kasus ini jatuh ke tangan kejaksaan, surat kabar ini berkali-kali mengingatkan Walikota Bima Arya agar melakukan review atas transaksi tanah Jambu Dua tersebut. Sebagai Walikota, Bima memiliki kewenangan meminta BPK untuk melakukan review atas transaksi pembelian tanah dengan menggunakan dana APBD tersebut.

Jika saja Bima Arya mau mendengarkan nasihat kawan-kawannya dan meminta BPK melakukan review atas transaksi tanah terse­but, maka kemungkinan besar dia tidak akan terseret pada pusaran kasus korupsi mark up ini. Juga tidak akan ada tersangka karena ke­salahan yang ditemukan ketika dilakukan re­view masuk kategori kesalahan administrasi. Maka kesalahan semacam ini bisa diperbaiki dengan cara mengembalikan uang selisih dalam transaksi tersebut.

Sayangnya Bima Arya begitu merasa yakin sudah melakukan langkah-langkah yang benar. Dia lupa keyakinan dia tersebut bisa digugur­kan dengan fakta empirik di lapangan. Salah satu fakta empirik yang bisa menggugurkan keyakinan Bima Arya adalah harga tanah yang pernah ditawarkan Angkahong kepada Wa­likota Bogor sebelumnya, yakni Diani Budiarto. Konon, Angkahong hanya minta Diani Budiarto membayar tanah tersebut seharga Rp 15 miliar.

Namun Diani tak bersedia membeli tanah tersebut karena ada beberapa hal yang di­anggap membahayakan. Antara lain legalitas kepemilikan lahan tersebut yang meragukan dan posisi tanah tersebut di jalan buntu yang tak mungkin dibeli siapapun kecuali oleh Pem­da Kota Bogor untuk perluasan Pasar Jambu Dua. Jadi, tanah tersebut adalah tanah mati.

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================