DITETAPKANNYA 1 Juni sebagai hari libur nasi­onal oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi bukti bahwa Pancasila begitu sangat istimewa bagi bansa dan negara. Pancasila adalah norma-norma yang disepakati bersama sebagai dasar kehidupan sosial dan dasar kenegaraan. Karena itu Pancasila tidak mungkin diubah. Mengubah Pancasila berarti mengubah negara.

Selain itu, karena Pancasila juga bukan sebagai ideologi, maka dia tidak akan berbenturan dengan ideologi-ideologi besar, baik yang bersifat sekuler maupun keagamaan. Kedua, Pancasila sebagai ide­ologi kebangsaan, bukan ideologi Negara, maka dia menjadi identitas kebangsaan dan keindonesiaan. Nilai-nilai yang ada di dalamnya menjadi perekat so­sial dan preferensi ideal yang harus diperjuangkan dalam bidang sosial, politik dan budaya. Sebagai milik bersama, maka nilai dan fungsinya sebagai perekat keberagaman dan menjadi common platform bangsa Indonesia itu akan hilang apabila Pancasila diubah menjadi ideologi negara, dan yang terjadi sebaliknya menjadi alat justifikasi otoritarianine penguasa. Ke­tiga, sebagai visi bangsa dan Negara, Pancasila adalah cita-cita yang hendak diraih. Dia ibarat kompas, menunjukkan jalan ke mana perjuangan bangsa dan negara ini diarahkan. Karena itu dia harus menjadi ru­jukan dasar dalam setiap kebijakan Negara.

Keempat, sebagai konsepsi politis atau ideologi negara, dia hanya berlaku pada domain politik dan atau di ruang publik, yaitu pada struktur dasar ke­hidupan kenegaraan, sebagai kesatuan skema ker­jasama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Karena itu, ideologi-ideologi lain yang bersifat sekuler maupun keagamaan boleh hidup sepanjang berada dalam domain privat, serta terus dihormati dan diakui oleh negara. Dari keempat itu, terlihat ada beberapa kesamaan pandang, yaitu menolak Pancasila sebagai ideologi negara yang komprehen­sif, menolak kebenaran tunggal, menolak monop­oli tafsir dan mengatur seluruh dimensi kehidupan rakyat Indonesia. Pada sisi lain, kesamaan pandang itu tetap menjadikan Pancasila sebagai dasar ke­hidupan berbangsa dan bernegara, yang seyogyan­ya terus disegerakan dan dikontekstualkan.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Bagaimana semestinya memahami Pancasila! Pada dasarnya yang dihasilkan Proklamasi dan sidang-sidang BPUPK dan PPKI lebih dari sekedar kontrak sosial, yakni keinginan mewujudkan suatu masyarakat yang bernama Bangsa Indonesia. Ke­inginan itu menjadi sendi-sendi pokok dalam mem­bangun dan mengembangkan bangsa Indonesia. Di sini, Pancasila dan pembukaan UUD 1945 men­emukan makna kultural paling mendalam sebagai ideologi bangsa. Konsensus yang terjadi itu juga sekaligus merupakan kontrak sosial pembentukan negara. Dengan demikian Pancasila dan pembukaan UUD 1945 mengandung dua dimensi sebagai Dasar Negara dan Dasar Kebangsaan, yang keduanya ti­dak bisa dicampuradukkan. Sebagai dasar negara, konsensus tersebut mengikat semua warga negara tanpa kecuali. Dari sini dapat dibangun sistem poli­tik dan sistem hukum. Sebagai dasar kebangsaan, konsensus tersebut merupakan kesepakatan final yang diperlukan sebagai pondasi dasar mesyarakat.

Sebagai konsensus dasar kebangsaan dan ken­egaraan, Pancasila adalah milik bersama, berisi norma-norma abstrak yang mengandung dimensi universalitas dan sekaligus partitular. Maka di dalam Pancasila terkandung visi masa depan bangsa. Pen­jabaran atas rumusan operasionalnya sangat ter­gantung pada konteks zaman. Dengan demikian, menurut fungsinya, Pancasila merupakan dasar negara, konsensus dasar, identitas kultur dan visi bangsa, yang saling mengait satu dengan lainnya. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai empat kajian po­kok dalam memahami Pancasila.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Sebagai dasar negara, Pancasila dan UUD 1945 (keduanya) harus dipahami sebagaimana dimaksud awal penyusunannya, yaitu sebagai philisopische grondslag negara, sebagai gagasan dasar yang di dalamnya terkandung vis mengapa negara Indone­sai didirikan. Gagasan itu harus dipahami sebagai hasil konsensus bersama di antara tokoh nasional pendidik negeri ini, semacam kontrak sosial dasar. Dengan demikian Pancasila dapat pula disebut sta­atsfundamentalnorm (pokok kaidah fundamental negara). Mungkin benar adanya bahwa Pancasila adalah kontrak sosial. Namun hal ini mengandung masalah sendiri. Pertama, Pancasila dapat dinego­siasikan kembali dan kedua, Pancasila akan kehilan­gan roh sosio-kulturalnya. Karena itu, pengertian Pancasila sebagai konsensus dasar harus diletak­kan sebagai konsensus dasar pembentukan negara, yang sudah semestinya tidak perlu lagi dikotak-ka­tik. Rumusan Pancasila yang kita kenal sekarang ini harus dianggap sebagai kesepakatan final sebagai konsensus bersama dasar pembentukan negara.

Meskipun Soekarno sering menerjemahkan dasar negara (Pancasila) sebagai weltanschauung atau philosopische gronddslag, namun beliau tidak pernah mendesakkan hal itu menjadi agenda resmi negara Indonesia Merdeka. (*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================