Ala hasilnya petani tebu guÂlung tikar dan tidak melirik tebu sebagai komoditas yang menjanÂjikan. Kondisi ini sangat ironi. Produk tebu justru dikuasai oleh perusahan besar swasta dan negara. Mereka mengusahakan kebun tebu dengan luas. TerseÂbar di Propinsi Jawa timur, jawa tengah dan pripinsi Lampung. Kawasan ini kawasan sentra tebu karena perusahaan besar baik swasta dan negeri ada disini. SeÂcara langsung petani yang dibina oleh perusahaan inilah yang maÂsih eksis mengusahakan kebun tebu. Sisi yang lain kebun tebu harus dikembangkan agar mengÂhidnari permainan dari pihak peÂrusahaan terkait dengan gula.
Mereka pasti tahu produksi tebu tidak ada, selain dari yang disebutkan. Tentu pasar gula lokal akan dikuasai oleh perusaÂhan bukan petani. Hal ini sangat memprihatinkan. Bisnis gula ini dibacan oleh pedagang. Mereka bersiap sudah lama untuk menaiÂkkan harga gula pada momen terÂtentu. Untuk membuat keseimÂbangan pemerintah memutuskan untuk impor tebu. Ricuhpun terÂjadi, akhirnya terjadi persaingan gula lokal dan gula impor dipasar. Kondisi pasar akhirnya tidak seÂhat lagi. Persaingan harga memÂbuat pedagang yang beli gula dari perusahaan besar harus gigit jari. Kondisi ini akan menumbuhkan rasa dendam pedagang terhadap pemerintah.
Lagi-lagi pedagang sulit untuk mengambil barang dagangan sepÂerti gula sehingga bukan hanya petani yang dirugikan tetapi juga pedagang. Pemerintah tidak meÂnyadari dengan gerakan impor tebu justru mematikan salah satu komoditas tebu tanah air. Yang tertinggal hanya petani-petani tebu yang dibina oleh perusaÂhaan perkebunan. Buat apa petÂani tebu kalau kita impor. Artinya bukan untuk memberdayakan petani. Mereka juga akan pergi meninggalkan profesi sebagai petani tebu. Padahal yang haÂrus kita lakukan bagaimana agar produksi tebu tetap pada tingkat lokal.
Untuk itu, ada beberapa solusi yang harus dilakukan. Pertama, pengelolaan zonasi keÂbun yang seimbang. Kita terlalu mengejar kebun sawit sebagai komoditas andalan perkebunan. Tebu dan komoditas lain kurang diperhatikan. Pemerintah juga terlalu kaku dalam membuat zoÂnasi pertanian. Kawasan jawa diÂpusatkan untuk tanaman pangan. Padahal pabrik gula banyak dipuÂlau Jawa. Apa salahnya kebun itu diatur luasnya sehingga zonasi untuk pengembangan tebu terus ada. Ketiga, pengembangan tebu harus dihidupkan kembali pada kalangan petani.
Petani bebas binaan dari peÂrusahan. Jangan hanya kelompok tani binaan perusahaan saja yang ada. Menata luasan tebu memang sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan perkebuÂnan sawit. Padahal minyak goreÂng dan gula sama-sama dibutuhÂkan. Bahkan, masyarakat hampir setiap hari membutuhkan gula dan sama dengan minyak. Selain itu, memperbaiki kelembagaan petani. Harus dibentuk kelompok tani tebu yang jelas anggotanya. Jelas waktu produksinya. Perjelas juga pasarnya dan kapan waktu tanamnya. Bangun sistem sosial petani dan pedagang yang harÂmonis sehingga mencetak bisnis sosial yang saling untung. (*)