Insentif membuat orang lebih suka berdagang ketimbang bersusah-payah memproduksi. Rente ekonomi dalam sistem tata niaga daging sapi tidak memihak kepada peternak sapi, tapi kepada para makelar, broker, atau belantik. Mereka pengendali harga dan pengendali pasok yang mudah mendisÂtorsi pasar. Mereka selalu diguyur ‘stimulus’ dari kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada impor. Tidak banyak insentif untuk berproduksi dan beternak lebih produktif. Negara telah kalah dan kita akan tetap jadi importir.
Ketiga, rezim perizinan yang tertutup. PenentuÂan jumlah kuota impor daging sapi tahunan dibahas di Kementerian Perekonomian dengan melibatkan kementerian teknis: Kementerian Pertanian, KeÂmenterian Perindustrian, dan Kementerian PerdaÂgangan. Untuk mendapatkan jatah kuota impor, perusahaan harus memenuhi enam kriteria: cold storage memenuhi syarat teknis, kinerja dan reÂalisasi impor sebelumnya, berpengalaman dalam impor, menyerap sapi/daging lokal, memiliki alat angkut khusus daging, dan industri pengolahan daging. Lubang muncul saat pembagian kuota imÂpor per perusahaan. Siapa penentunya? Ketiga keÂmenterian saling lempar. Sampai sekarang masalah ini tak terbuka.
Padahal, keterbukaan informasi dalam penÂgadaan barang/jasa merupakan amanat UU KeterÂbukaan Informasi Publik No 14 Tahun 2008. Impor daging bukanlah rahasia negara, seperti dikecuÂalikan dalam UU No 14/2008. Karena itu, tidak ada alasan pembenar merahasiakan perusahaan yang kebagian kuota impor. Justru ketertutupan kian meyakinkan dugaan ada moral hazard.
Untuk mengurai ekonomi rente, pemerintah haÂrus transparan dalam pemberian kuota impor. Salah satu caranya bisa dilakukan dengan tender atau opsi kuota tarif. Agar instabilitas harga tidak selalu beruÂlang, pemerintah harus menghitung cermat rasio imÂpor dengan kemampuan produksi domestik secara berkala. Insentif harus dirancang ulang, dengan semÂinimal mungkin membuka peluang orang lebih suka berdagang ketimbang berproduksi. Secara gradual, perintisan breeding modern berskala besar harus dilakukan. Dengan pelbagai langkah itu, bukan musÂtahil Indonesia bisa kembali swasembada daging.(*)