Upaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelontor pasar dengan sapi impor, ternyata tak ngefek bagi masyarakat Bogor. Daging murah tersebut justru tak diminati. Masyarakat Bogor tetap berburu daging lokal yang dianggap lebih fresh dan sehat.
PATRICK|YUSKA APITYA
[email protected]
Berdasarkan penelusuran di sejumlah Pasar Tradisional di Bogor, peredaran dagÂing lokal lebih mendominasi ketimbang daging sapi imÂpor. Di Pasar Warung Jambu, terdapat 6 pedagang yang menjual daging sapi. EmÂpat pedagang hanya menjual daging lokal, dan hanya dua pedagang yang turut menyeÂdiakan daging impor.
Di Pasar Gunung Batu, terdapat 6 pedÂagang daging sapi. Sebanyak 5 pedagang hanya menjual dagÂing lokal saja. Sementara 1 pedagang lain, menjual daging lokal dan impor.
Di Pasar Sukasari, terdapat 3 dari 6 pedagang daging yang menjual dagÂing sapi impor dan daging lokal. SeÂmentara 3 pedagang lainnya, hanya menjual daging lokal saja.
Selanjutnya di Pasar Devris, hanÂya ada satu pedagang daging yang hanya menjual daging sapi lokal. Di Pasar Padasuka, tercatat 4 pedagang daging sapi. Sebanyak 3 pedagang, murni menjual daging lokal. SemenÂtara 1 pedagang, juga menyediakan daging lokal dan daging impor.
“Untuk Pasar Bogor, terdapat 35 pedagang yang menjual daging sapi di 55 los dan 52 kios. Sebanyak 3 pedÂagang tercatat menjual daging sapi impor. Namun ketiga pedagang terseÂbut juga menjual daging sapi lokal. SeÂmentara 32 pedagang hanya menjual daging lokal saja,†kata Kepala Unit Pasar Warung Jambu Iwan, kemarin.
Tingginya minat pedagang menÂjual daging sapi lokal dikarenakan beÂsarnya permintaan masyarakat pada komoditi tersebut.
Seperti dikatakan Andri (38) salah satu pedagang di Pasar Bogor, masyaraÂkat lebih berselera membeli daging lokal, meski harganya lebih mahal. Itu terlihat dari volume daging sapi yang terjual. “Dalam satu hari, saya mampu menjual 25 kilogram (kg) daging sapi lokal. Sementara daging impor, saya hanya bisa menjual 10 kg,†sebutnya.
Informasi yang dihimpun Bogor Today, terdapat beberapa jenis dagÂing sapi lokal yang banyak didagangÂkan di Bogor. Diantaranya, sapi Bali atau banteng (Bos Sondaicos), sapi Madura yang merupakan persilanÂgan Bos Indicus (Zebu) dengan Bos Sondaicus (Banteng), dan sapi onÂgole yang diternakkan secara alami di Pulau Sumba. Sapi lokal ini banyak dipilih karena ketahanan terhadap penyakit dan perubahan cuaca. KaraÂkteristik daging sapi lokal lebih rendah lemak dan tidak mempunyai marbling.
Sementara jenis sapi impor yang didatangkan ke Indonesia biÂasanya berasal dari jenis brahman cross atau Australian comercial cross. Sapi lainnya yang masuk pasar di InÂdonesia, yakni sapi Amerika dan New Zealand. Umumnya sapi Amerika diberi pakan jagung, sementara sapi New Zealand dan Australia ada yang diberi pakan grass feed atau biji-bijiÂan.
“Perbedaan pakan dan lingkunÂgan tumbuh sapi sangat berpengaÂruh pada rasa dan tekstur daging. Begitu juga dengan kelembutan dagÂing,†ucap Dokter Hewan jebolan IPB, Emma.
Ia juga mengatakan, daging sapi lokal tidak mengandung es atau caiÂran, karena sapinya baru dipotong di rumah pemotongan hewan. SedangÂkan daging sapi impor mengandung es atau cairan, karena dibekukan dari negara pengimpor.
Selain itu, daging sapi lokal selesai di potong tetap utuh perbagian daging dan tidak ada cair dan tidak menyusut sebab dalam tubuh sapi tidak menÂgandung cairan seperti air. Sementara daging sapi impor dipotong sesuai potongan yang diinginkan atau tidak utuh dalam kondisi beku, kemudian mencair dan menyusut saat dimasak.
Daging sapi lokal tidak mengandÂung lemak, sebab sapinya banyak meÂmakan serat ataub rumput. KemudiÂan sapi setelah dipotong dan dijual di pasar biasanya pembeli minta diberÂsihkan lemaknya. Daging sapi impor banyak mengandung lemak, karena saat pemotongan di negeri asalnya, lemak yang menempel di tubuh sapi setelah dikuliti, sengaja tidak diberÂsihkan dan dipotong-potong sesuai dengan ukuran yang diinginkan.
Selain itu, daging sapi lokal memiÂliki aroma yang khas daging sapi yaitu sedap, gurih dan warnanya merah. Sedang daging sapi impor memiliki aroma yang kurang sedap, tidak gurih dan pucat warnanya.Adapun, daging sapi lokal bila dipajang (digantungkan) dikios daging sapi dipasar tradisional seharian masih kelihatan segar, dan dimasukkan kedalam ruang pendingin (frizer) masih tetap segar.
Sementara daging sapi impor bila digantungkan akan menetes airnya (seperti daging sapi gelonggongan) dan beberapa jam setelah dicairkan akan mengalami perubahan warna. “Sebagian besar masyarakat yang berÂbelanja di pasar lebih memilih daging sapi lokal, karena tidak ada lemak. Untuk daging sapi impor banyak dikonÂsumsi untuk industri daging olahan seperti bakso dan sosis. Alasannya, karena harganya lebih murah,†urainya.
Swasta Boleh Jualan
Sementara itu, pemerintah terÂus menambah daging impor untuk menggelontor pasar agar target harÂga jual daging sapi Rp 80.000 seperti diminta Presiden Joko Widodo bisa terlaksana. Untuk kepentingan ini, perusahaan swasta diberi kepercayÂaan mendapat jatah impor daging sapi melalui mekanisme penunjukan langsung dari Menteri Perdagangan diikat dengan perjanjian khusus. DagÂing sapi yang mereka impor harus dijual dengan harga tidak lebih dari Rp 80.000/kg di tingkat masyarakat konsumen akhir.
Pemberian izin impor ini meruÂpakan bagian dari upaya Kemendag menurunkan harga daging sapi hingÂga di bawah Rp 80.000/kg saat lebaÂran, sesuai instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Saat ini harga dagÂing sapi masih di atas Rp 100.000/kg.