Selain itu, Muzammil menambahkan, inforÂmasi perda yang dibatalkan perlu segera dikÂetahui dan direspons pemda. Sebab, jika perda yang dibatalkan tersebut tetap diberlakukan, maka, menurut Pasal 252, akan diberikan sanksi penundaan evaluasi rancangan perda dan sanksi administratif berupa tidak dibayarÂkan selama tiga bulan hak-hak keuangan bagi kepala daerah dan DPRD terkait. “Sanksi berat lainnya adalah penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH bagi daerah bersangkutan. Jadi pemda dan DPRD terkait sangat berkeÂpentingan dan memiliki hak untuk mengetahui lebih awal perda yang dibatalkan,†katanya.
Menurut Muzzammil, pemerintah sehaÂrusnya tidak semena-mena dalam pencabutan perda. Sebab untuk melihat kualitas perda, kata dia, tidak boleh hanya menyalahkan pemerÂintah daerah dan DPRD, tapi perlu juga menÂgevaluasi kerja Kemenkumham yang memiliki tugas pemberian bimbingan teknis dan superÂvisi di bidang fasilitasi perancangan perda. “Jadi perlu ada evaluasi ke dalam apakah semua keÂmenterian sudah bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing,†katanya.
Pembatalan 3.143 peraturan daerah oleh Presiden Jokowi ini dipandang Kementerian Dalam Negeri dianggap tidak perlu melalui juÂdicial review ke Mahkamah Agung. PembataÂlan cukup dilakukan Menteri Dalam Negeri dan dengan dasar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. “Jadi tidak benar kalau dikatakan harus dibawa ke lembaga peradilan. Baca dulu patokannya, UU Nomor 23 Tahun 2014,†kata Kepala Biro Hukum Kemendagri Widodo Sigit Pudjianto di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, KaÂmis (16/6/2016).
Widodo mengatakan tata cara pembatalan perda diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU 32 Tahun 2004. Kedua peraturan itu mengatur tentang pemerintahan daerah. NaÂmun, dalam kedua peraturan itu ada perbeÂdaan tentang tata cara pembatalan perda.
Menurut Sigit, pada UU No 32 Tahun 2004, Kemendagri hanya bisa membatalkan perda untuk empat peraturan, yaitu terkait denÂgan pajak daerah, restitusi daerah, APBD, dan RTRW. “Lainnya harus diminta judicial review,†kata Sigit.
Namun dengan terbitnya UU 23 Tahun 2014, dia melanjutkan, produk hukum kaÂbupaten/kota bisa dibatalkan gubernur, dan produk hukum di provinsi bisa dibatalkan MenÂteri Dalam Negeri. Untuk kasus tertentu bila gubernur tidak membatalkan perda kabupatÂen/kota yang dianggap bertentangan, Menteri Dalam Negeri bisa membatalkannya. “Itu bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri. Dengan perÂtimbangan, ini domain executive review,†kata Sigit.
Apabila perda kabupaten/kota yang diÂbatalkan gubernur tidak diterima pemerintah kabupaten/kota, mereka boleh banding ke Menteri Dalam Negeri dalam waktu 15 hari. “Itu semua diatur dalam UU 23/2014,†kata Sigit.
Sekretaris Jenderal Kemendagri Yuswandi A. Temenggung mengatakan dari 3.143 perÂaturan yang dibatalkan, ada 1.765 peraturan di tingkat provinsi, 1.276 peraturan di tingkat kabupaten/kota, dan 111 Peraturan Mendagri yang dibatalkan.
“Secara rutin kajian dilakukan dan kami sampai pada jumlah 3.143 peraturan yang dibatalkan,†kata Yuswandi. Dia mengatakan langkah tersebut diamanatkan UU 23/2014, khususnya Pasal 251 ayat (1), (2), dan (3).
Yuswandi mengatakan perda dibatalkan untuk menjaga konsistensi dengan peraturan di atasnya. Selain itu, ada peraturan yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, sehingga tiÂdak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. “Secara otomatis, peraturan di bawahnya tidak berlaku dan dibatalkan,†kata Yuswandi.
Parameter lain perda yang dibatalkan adalah tidak menghambat investasi, tidak berÂtentangan dengan kepentingan umum, dan tidak menghambat percepatan pelayanan pubÂlik, termasuk percepatan pelayanan investasi dan bisnis.(Yuska Apitya Aji)