Menurut laporan itu, negara berkembang masih menjadi tuan rumah yang menampung 86 persen pengungsi dunia. Negara yang paling banyak menampung pengungsi Suriah adalah Turki, dengan 2,5 juta pengungsi, diikuti oleh Pakistan dan Libanon.
Sentimen Xenofobia
Para pencari suaka yang melarikan diri dari konflik atau penganiayaan harus menghaÂdapi tembok pembatas di perÂbatasan dan sentimen antipenÂgungsi. “Munculnya xenofobia, sayangnya, menjadi faktor yang menentukan dalam lingkungan kita,†ujar Grandi.
“Pembatasan muncul di maÂna-mana, dan saya tidak hanya berbicara dari soal tembok pemÂbatas, namun juga hambatan legislatif yang akan datang, terÂmasuk di negara-negara di dunia industri yang telah lama berprinÂsip dalam mempertahankan hak fundamental terkait suaka,†kata Grandi.
Setelah negara-negara BalÂkan serempak menutup perÂbatasannya, Uni Eropa memÂbentuk kesepakatan pengungsi dengan Turki pada Maret lalu untuk membendung masuknya lebih dari satu juta pengungsi ke Eropa pada 2015. “Fakta bahwa arus imigran telah berÂhenti bukan berarti masalah perpindahan orang telah beraÂkhir. Masalah ini mungkin sudah berakhir untuk beberapa negara yang tidak harus berurusan denÂgan hal ini lagi, untuk saat ini,†kata Grandi.
Skema pengungsi Uni Eropa, yang akan memukimkan kemÂbali 160 ribu pencari suaka dari Yunani dan Italia ke negara-neÂgara anggotanya juga mandek. Hingga kini, baru 2.406 penÂgungsi yang sudah direlokasi.
Terkait hal ini, Grandi menÂegaskan, “Tidak ada rencana B untuk Eropa. Eropa akan terus menerima orang yang mencari suaka,†ujar Grandi. “Semua orang harus berbagi tanggung jawab sekarang.†(Yuska ApiÂtya/net)