Nia S. Amira
[email protected]
Bagi kebanyakan masyaraÂkat Indonesia, terutama suku Jawa, Bali dan MadÂura memiliki tradisi memÂbuat tumpeng saat melaksanakan kenduri, merayakan suatu perisÂtiwa penting. Makna yang terkanÂdung dalam sebuah nasi tumpeng berhubungan erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama puÂlau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng memang berasal dari tradisi kuno masyaraÂkat Indonesia dan karenanya benÂtuk Tumpeng yang dibuat seperti gunung itu merupakan personifikaÂsi gunung Mahameru di India, temÂpat bersemayam para hyang, atau Dewa Dewi serta para leluhur (neÂnek moyang). Seperti diketahui, adat istiadat masyarakat Jawa banÂyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu.
Dalam perkembangannya, tumpeng diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam sebagai agama yang masuk dan berkembang di Indonesia sejak abad ke 13, teruÂtama di pulau Jawa. Pada masa itu, tumpeng dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan keÂpada Yang Maha Kuasa.
Dalam tradisi kenduri pada masyarakat Jawa dikenal sebutan Slametan, yaitu di mana tumpeng yang disajikan sebelumnya didoÂakan menurut ajaran Islam. MenuÂrut tradisi Islam Jawa, Tumpeng merupakan akronim dalam baÂhasa Jawa yaitu : yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). LengÂkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya Buceng, dibuat dari ketan yang merupakan akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh).