Sedangkan lauk-pauk yang meÂnyertai tumpeng berjumlah 7 maÂcam, angka 7 dalam bahasa Jawa disebut pitu, artinya Pitulungan atau pertolongan. Tiga kalimat akÂronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80: “Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keÂluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolonganâ€. MenuÂrut beberapa ahli tafsir, doa ini diÂbaca Nabi Muhammad SAW sewaktu akan hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan meÂnyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan keÂpada Yang Maha Pencipta agar kita memperoleh kebaikan dan terhinÂdar dari segala keburukan, serta memperoleh kemuliaan dari yang memberikan pertolongan.
Tumpeng merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. Karena memiliki niÂlai rasa syukur dan perayaan, kini tumpeng sering kali menggantikan fungsi kue dalam perayaan pesta ulang tahun.
Masyarakat umum di Indonesia biasa menyebut Nasi tumpeng sebÂagai ‘tumpengan’. Di Yogyakarta dan kota-kota lainnya di Jawa berkemÂbang tradisi tumpengan pada malam sebelum tanggal 17 Agustus yang merupakan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan pada kesempatan tersebut para orang tua bersama dengan generasi muda berdoa bersama di depan Tumpeng untuk mendoakan keselamatan Negara.
Setelah pembacaan doa, pucuk tumpeng yang biasanya dimasak berwarna kuning itu dipotong dan diberiÂkan kepada orang yang paling pentÂing, paling terhorÂmat, paling dimuÂliakan, atau yang paling dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudÂkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang unÂtuk bersama-sama menikmati tumpeng. Ini adalah ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada TuÂhan sekaligus merayakan kebersaÂmaan dan kerukunan.