AIR untuk kehidupan. Sering kita dengar perkataan ini. Air termasuk minuman yang baik dan halal. Air awalnya memang sangat baik untuk manusia namun kini air itu sulit dikategorikan mana air yang baik. Makin lama air tidak lagi baik untuk kesehatan manusia. Kondisi ini belum juga membuat manusia sadar akan perangai merusak air. Air banya kuman, air yang tercemar, air yang mengandung bakteri. Itulah campuran air kita saat ini. Mengapa air itu jadi seperti itu? kini sumber pencemaran belum bisa diminimalkan.
Oleh: BAHAGIA, SP., MSC
Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan IPB dan dosen tetap
Universitas Ibn Khaldun Bogor
Semua aktivitas manuÂÂsia yang jorok-jorok semuanya bermuara pada mata air. Kita membuang kotoran seperti tinja. Kemudian airnya akan masuk kedalam sumur lagi. Berbarengan dengan paÂÂdatnya penduduk maka jelas kita akan minum kembali air kotoran sendiri. Menurut BPS (2013) jumlah penduduk IndoÂÂnesia tahun 2010 sekitar 238,5 juta akan diprediksi meningkat menjadi 305,6 juta pada tahun 2035.
Pertumbuhan penduduk tadi memicu banyaknya koÂÂtoran maka kita akan minum juga air kotoran dari tetangga sebelah. Hal ini sudah terjadi. Rumah-rumah sudah berdemÂÂpetan satu sama lain. Air tetangÂÂga juga mengalir ke sumur kita. Penggalian sumur kita berganÂÂtung juga dengan debit air tetÂÂangga. Sedikit atau banyak air tetangga juga mempengaruhi debit air sumur kita. Begitulah dekatnya sumur itu dengan suÂÂmur tetangga. Kalau tetangga menggali sumur dekat dengan sumur kita akan mempengaÂÂruhi debit air sumur tetangga.
Porsi air itu akan terbagi-bagi. Sebagian untuk sumur si A dan sebagian lagi untuk si B. Fakta ini rawan bagi mutu Air kedepan dan bisa saja kita akan mengalami kekeringan. Tentu kotoran tetangga yang dekat dengan kita akan mempengaÂÂruhi kualitas air kita. Kotoran tinja tadi sebagian kecil dari pencemaran air tanah. Selain itu, jika kita berpatokan kepada mata pencahrian yang sebagian besar penduduk bertani. DiÂÂpastikan sumber pencemaran terbesar selain industri berasal dari aktivitas pertanian.
Racun hama yang dikenal dengan pestisida mengandung DDT (dichlorodiphenyltrichloÂÂroethane) sangat berbahay bagi manusia. Serangga saja mati terÂÂkena bahan beracun ini. Sama halnya dengan manusia. DDT ini akan membanjiri air sumur suatu saat. DDT ini akan makin banyak karena penduduk kita belum bertani ramah ekoloÂÂgis. Dengan fakta itu aktivitas menyemprot pestisida makin sering dilakukan. Bersamaan dengan ganasnya hama karena kerusakan ekosistem.
Hama makin banyak karena pedator mati dialam. PenyemÂÂprotan makin sering dilakuÂÂkan, seringnya penyemprotan menyebabkan pekatnya kandÂÂungan DDT yang terbuang dan masuk kedalam tanah. Kalau saat hujan maka DDT tadi akan dibawa masuk kedalam tanah melalui aliran permukaan. SeÂÂbagian lagi akan masuk kedalam sungai. Semuanya akan menÂÂjadi bagian dari air sumur kita saat ini. Ditambah lagi sampai kini aktivitas pertanian belum bisa terlepas dari penggunaan pestisida dan pupuk.
Pupuk pabrikan juga bermaÂÂsaah terutama urea. Kandungan urea tidak baik untuk air miÂÂnum. Masuknya urea dan jenis pupuk lain kedalam sumur dan sungai dipastikan bertambah banyak. Selagi kita belum meÂÂlepaskan diri dari belenggu berÂÂtani tidak pro ekologis. Pastinya suatu saat kita akan mengalami hal ini, ditambah lagi dengan kita selalu butuh makan teruÂÂtama beras. Budidaya padi akan terus digalakkan. Tentu semaÂÂkin pekat pestisida tadi masuk kedalam tanah. Pupuk urea tadi juga semakin banyak.
Jika kita melihat kondisi penduduk yang sebagian beÂÂsar masih bergantung kepada air sumur dan kemasan maka jelas suatu saat akan muncul bahaya. Dua sumber air yang paling banyak digunakan diperÂÂdesaan di Indonesia. Menurut BPS (2013) ada sekitar 16498 ribu desa yang menggunakan air kemasan dan ada sekitar 28013 ribu desa yang mengguÂÂnakan air sumur. Dua sumber air ini yang paling digunakan oleh masyarakat diperdesaan. Kedua-duanya kalau tidak dikeÂÂlola menjadi bencana bagi umat manusia.
Bergesernya manusia mengÂÂgunakan air kemasan karena tingkat kepercayaan akan kurang terhadap air yang berÂÂmutu. Disamping tidak mau repot untuk memasaknnya terlebih dahulu. Satu sisi air kemasan menguntungkan bagi manusia. Sisi yang lain air keÂÂmasan membuat manusia tiÂÂdak mau memperbaiki kualitas air. Manusia membiarkan saja kualitas air makin buruk sebab masih berpikir ada air kemaÂÂsan. Suatu saat air kemasan yang disedot dari gunung juga makin berkurang debit airnya. Berkurang karena airnya diamÂÂbil terus menerus.
Kondisi ekologisnya makin rusak. Daerah hijaunya makin berkurang sehingga suatu daeÂÂrah tadi tidak bisa menyimpan air. Satu sisi penyedotan terlalu parah dilakukan. Bersamaan dengan kebutuhan manusia akan air tadi. Akhirnya air keÂÂmasan langka dan juga kita mengalami kekeringan. Air kita juga tercemar karena tidak diperbaiki mutunya dari sekaÂÂrang. Nampak kita terlena denÂÂgan kekayaan air ini.
Untuk itu ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, mewujudkan pertanian ramah ekologis bukan lagi wacana. Kita tidak perlu melakukan perÂÂluasan lahan dan lain sebagainÂÂya. Mempertahankan lahan yang sudah ada. Menggunakan pertanian green house (rumah kaca) secara masal. Akhirnya hama tidak bisa masuk sehingÂÂga mengurangi penggunaan pestisida. Inovasi pertanian ini harus segera diwujudkan sebeÂÂlum negeri kita makin parah terutama kerusakan ekologis.
Kedua, mengkonservasi kembali hewan-hewan alami yang jadi musuh alami. Musuh alami itu mati dialam sehingga yang bertahan serangga penyÂÂerang tumbuhan. Hidupkan kembali laba-laba. Kita terlalu sepele dengan laba-laba sehingÂÂga kita membunuhnya dengan pestisida. Kita juga meremehÂÂkan jenis katak sehingga katak punah dan kita merasakan hama-hama yang banyak tadi. Ketiga, menggerakkan kembali pertanian mina padi jika pertaÂÂnian dengan penggunaan green house belum bisa terwujud.
Mina padi maksudnya, mengÂÂgunakan ikan bersama dengan menanam padi disawah. Dengan cara itu ham yang jatuh ke air akan dimakan ikan. Hal itupun akan menumbuhkan ekosistem baru seperti datangnya katak tadi. Keempat, tata ruang hijau pertanian. Pinggiran kebun-keÂÂbun sebaiknya dikosongkan unÂÂtuk daerah resapan air.
Jangan semua lahan diperÂÂgunakan untuk kebun. Kadang merasa rugi tidak digunakan namun bencana saat banjir. Terakhir, pemerintah segera membudayakan lebih optimal penggunaan pupuk organik. Jalan inilah yang bisa ditemÂÂpuh untuk menyelamatkan air dan kesuburan tanah. Satu sisi akan bertentangan dengan pabrik pembuat pupuk yang tidak organik. Meski demikian perusahaan itu bisa melirik bisÂÂnis yang organik kedepannya sehingga tidak akan merugikan pihal lain. (*)
Bagi Halaman