KEADAAN demokrasi saat ini menjadi perbincangan sejumlah kalangan masyarat Indonesia, Ada Tanya yang terlontarkan, sudah sampai dimanakah konsep demokrasi dijalankan dan dipahami di indonesia? Pertanyaan ini adalah pertanyaan untuk para elit politik yang mengemban amanah rakyat untuk menjalankan setiap program ketata negaraan, yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, sangat wajib untuk dilaksanakan secara pembangunan yang continiu (berkesinambungan).
Oleh: W. HIDAYAT LBS
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pakuan
Demokrasi adalah sistem yang paling ideal untuk sebuah Negara, karna deÂÂmokrasilah yang mampu untuk memberikan hak perpolitikan kepada seluruh rakyÂÂat dalam suatu Negara. Mengingat apa yang dikatakan oleh M. Alfan Alfian dalam bukunya yang berÂÂjudul ‘’Demokrasi Pilihlah Aku’’, ia mengatakan berpolitik bukanÂÂlah suatu profesi, tetapi keinginan untuk mengabdi kepada Negara. Karena dalam berpolitik siapapÂÂun berhak dan dari latar belakang apapun, seorang petani, dokter, pengusaha, nelayan, buruh, artis, pembalap, petinju, dll. Semuanya pantas dan layak untuk dipilih dan memilih.
Paham demokrasisme, mengaÂÂnut asas kedaulatan rakyat. Dimana rakyat bebas untuk berpendapat, berbuat, dan bertanya. Tiada baÂÂtas dan tiada sekat antara berbagai kelas masyarakat kelas pemimpin dan kelas masyarakat sipil, deÂÂmokrasi pada awalnya di deklaraÂÂsikan disaat revolusi prancis pada tahun 1789. Ada tiga unsur yang terkandung didalam demokrasi, yaitu kebebasan, kemerdekaan, dan kebersamaan, itulah tiga unsur intisari dari demokrasi. M. Hatta sangat sepakat terhadap demokraÂÂsi diterapkan menjadi konsep ketÂÂatanegaraan. Tetapi karna melihat teorisasi dan praktek-empiris deÂÂmokrasi di indonesia tidak sejalan maka kekecewaan Hatta terhadap demokrasi dikumandangkan diÂÂdalam bukunya yang berjudul ‘’DeÂÂmokrasi Sosial’’.
Sejauh ini demokrasi bergerÂÂak secara pasif, hanya berkutak didalam pemilihan umum, para elit politik hanya memperhitungÂÂkan ‘’menang dan kalah’’ dalam arena catur perpolitikan di NegaÂÂra ini. Ketidak pedulian para elit politik terhadap kesejahteraan rakyat baik secara perekonomian rakyat, kesehatan dan pendidikan terlihat sangat lambat pertumbuÂÂhannya dan kemajuannya. ApakÂÂah ini disebabkan karna dinamika perpolitikan saat ini berkepanÂÂjangan yang belum menemukan solusi untuk penyelesaian konflik politik tersebut?, semoga tidak.
KEPENTINGAN PARTAI
Sejumlah media massa heboh memberitakan kondisi perpolitiÂÂkan yang penuh dengan konflik di Negara ini. Ada dua hal yang menjadi tontonan rakyat IndoneÂÂsia dalam konflik politik di Negara ini ; pertama, adanya dualisme kepemimpinan dalam satu partai, kedua, adanya perebutan kekuaÂÂsaan antara partai satu dengan partai yang lainnya. Semua konÂÂflik itu terlihat jelas bukan karna memperjuangkan hak rakyat, tetapi konflik itu hanya memperÂÂjuangkan kepentingan segelintir elit politik yang sedang berkuasa. Pendapat diatas senada dengan apa yang dikemukakan oleh Tonny D Widiatono didalam buku Forum Wangunwijaya III yang berjudul ‘’Negara Minus Nurani’’, ia menÂÂgumandangkan bahwa hilangnya kenegarawanan dikalangan pemiÂÂmimpin kita masih melihat dalam pribadi-pribadi para eksekutif terÂÂpilih, baik presiden maupun menÂÂteri-menteri kelekatan masih lebih kuat pada partai mereka dari pada kepentingan rakyat.
Sekiranya walaupun partai yang menjambatani proses perÂÂpolitikan dalam suatu Negara unÂÂtuk mencapai kekuasaan (power). Bukan berarti rakyat tidak ikut serta berpartisipasi dalam mewuÂÂjudkan kekuasaan dalam suatu Negara. Sejauh ini manfaat partai politik hadir untuk berpartisiÂÂpasi di ketata negaraan IndoneÂÂsia belum terlihat begitu besar. Penulis berasumsi bahwa terlalu larutnya para kader partai untuk memperjuangkan idiologi partai yang bukan idiologi bangsa IndoÂÂnesia. Jadi, sekiranya pantaslah seorang orator dan agitator revÂÂolusi Prancis, yaitu Robespierre menganggap bahwa ‘’partai poliÂÂtik hanyalah organisasi yang hanÂÂya mementingkan kepentingan pemimpin’’(Yoyoh Rohaniah dan Efriza : hlm, 352).
Maka dengan itu, sekiranya partai politik diharapkan lebih fokus memperjuangakan kebuÂÂtuhan ‘’primer rakyat’’ dibandÂÂingkan kebutuhan ‘’primer parÂÂtai’’. Jikalau partai terlalu larut untuk mempertontonkan konflik perpolitikan di Negara ini, tidaÂÂklah disalahkan jikalau rakyat berpandangan negative kepada partai politik walapun kader parÂÂtai meng-klaim bahwa mereka haÂÂdir untuk memperjuangkan hak rakyat. Ada pendapat negative dari rakyat tentang partai politik yang harus di ingat oleh para elit partai politik yaitu partai tidak lebih dari organisasi kriminal yang mengrongrong kewibawaan Negara. Bahwa rakyat tampa partai akan lebih efektif dalam menyelesaikan masalah daripada rakyat partai (kader partai).
PENGABDIAN DAN
PENGORBANAN
Sekiranya disaat suasana gemuruh perpolitikan saat ini, yang sangat pantas kita begaikan seperti gemuruhnya petir yang menyambar ketika awan hitam sebagai lambang kegelapan duÂÂnia mulai menyelimuti terangnya matahari. Sangatlah diperlukan seorang politikus yang benar-benar negarawan, seorang pemÂÂberani dan seorang kesatria unÂÂtuk memperbaiki keadaan Negara yang telah disambar oleh petir yang menyeramkan. Seorang negarawan pengabdi dan penuh pengorbanan pastilah tidak akan gentar untuk mengenal kata leiden is lijden, ‘’memimpin itu menderita’’. Karna tidak dipungÂÂkiri saat ini kader organisasi partai maupun organisasi non-partai belum ada secara loyalitas iklas untuk mengabdikan diri dan penuh pengorbanan dalam memÂÂbangun kesejahteraan rakyat yang hakiki.
Sekiranya pemimpin yang bajaksana ialah pemimpin yang di ibaratkan seperti ‘’lampu dindÂÂing’’ yang menempel di dinding rumah, diamana lampu itu dapat menimbulkan cahaya api untuk menerangi rumah majikannya yang sedang dalam kegelapan, walaupun ia menerangi rumah majikannya tapi ia tidak rugi atau tidah habis dan majikannya pun tidak rugi atas pengabdiannya yang telah menerangi rumah maÂÂjikannya itu. Pemimpin yang palÂÂing merugi ialah pemimpin yang di ibaratkan bagaikan ‘’lilin’’, ketika ia dinyalakan ia meneranÂÂgi rumah majikannya tetapi ia dalam waktu yang terbatas iapun tertetes meleleh hingga ia habis dan padam. Dapat diartikan dua analogi kepemimpinan tersebut bahwa pemimpin yang bijaksana ialah pemimpin yang paham akan kondisi dan situasi yang terjadi ditengah-tengah kehidupan soÂÂsial, dimana pemimpin Negara tidak rugi dan rakyat Negara pun tidak dirugikan. Tetapi lagi-lagi penulis serasa mimpi untuk menulis pemimpin yang bijakÂÂsana yang penuh ‘’pengabdian dan pengorbanan’’ tersebut. SejaÂÂrawan Thomas Carlyle mencatat bahwa sejarah adalah biografi orang-orang besar. Orang besar hadir dalam arena dan momenÂÂtum yang berbeda-beda. Tapi yang jelas mereka penuh ‘’pengÂÂabdian dan pengorbanan’’.
Bagi Halaman