Sejak diterbitkan Undang-Undang Nomer 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, pemerinÂtah daerah mulai menjalankan sistem pengangÂgaran berbasis kinerja, sebagai ganti dari model penganggaran konvensional yang berbasis line item. Dengan model penganggaran berbasis kinerja, diharapkan akan memunculkan efek reÂlasi yang resiprokal antara jumlah anggaran yang direncanakan dengan sejumlah output atau haÂsil yang hendak dicapai.
Dengan seperti itu, ketika merancang proÂgram atau rencana kegiatan dan menyusun angÂgaran, pemerintah daerah secara langsung diajak untuk mendefinisikan hasil program secara jelas dan detail sejak awal. Sehingga dari awal, kita sudah punya barometer dan patokan yang jelas, apakah pelaksanaan program itu berhasil sesuai dengan output yang diharapkan. Termasuk juga kita bisa mencermati apakah biaya pelaksanaan kegiatan program tersebut sudah sesuai dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan. Kita bisa mengontrol dan mengawasi seluruh pelaksanaan kegiatan anggaran dengan leluasa.
Penerapan model penganggaran berbasis kinÂerja, pada hakekatnya ingin menutup rapat celah yang memungkinkan pemerintah daerah untuk melakukan korupsi anggaran. Termasuk juga menutup jalan bagi pemerintah daerah untuk menyelipkan kegiatan anggaran yang disusupi oleh kepentingan tertentu. Sebab, dari keseluruÂhan rencana kegiatan anggaran telah ditentukan program kegiatan, indikator keluaran dan hasil, sasaran, target, lokasi dan pagu anggarannya secara detail dan rinci sedari awal. Tentu hal ini akan memberikan imunitas dana anggaran pubÂlik (APBD) dari sentuhan koruptor.
Akan tetapi, meski semua celah potensi koÂrupsi anggaran ditutup secara sistemik, peluang terjadinya praktek korupsi anggaran daerah maÂsih berulang kali terjadi. Fenomena praktek koÂrupsi anggaran oleh pemerintah dan kepala daeÂrah masih terus menjamur. (*)