Belum tersosialisasinya undang-undang perlindungan guru secara jelas dan terseÂÂbar di masyarakat bahwa guru dalam melaksanakan tugasnya dilindungi oleh PP no.74 taÂÂhun 2008, pada pasal 39 ayat 1 bahwa “Guru memiliki kebeÂÂbasan memberikan sangsi keÂÂpada peserta didiknya yang meÂÂlanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dari peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan yang ditetapÂÂkan tingkat satuan pendidiÂÂkan dan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenanÂÂgan. Pada ayat 2 menyatakan sangsi dapat berupa teguran atau peringatan, baik lisan mauÂÂpun tulisan, serta hukuman yang sifatnya mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan , kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.
Dari pernyataan perundanÂÂgan di atas sebenarnya sudah jelas bahwa guru memiliki hak menangani siswanya dalam proses pembelajaran untuk berprilaku baik sesuai dengan tatatertib, mulai melakukan teÂÂguran, peringatan hingga skoreÂÂsing. Namun orang tua dengan berbekal Undang-undang perÂÂlindungan anak pasal 80 ayat 1 berdalih bahwa apa yang diÂÂlakukan guru dianggap mencedÂÂrai siswa atau menganiaya siswa hingga mengalami kerugian maÂÂteril dan imateril. Padahal berÂÂdasarkan yurisprudensi MahkaÂÂmah agung (MA) yang dikutip dari website MA, menyatakan bahwa guru tidak dapat dipiÂÂdana saat menjalankan proÂÂfesinya dan saat melakukan tinÂÂdakan pendispilinan terhadap siswa. Apa yang dilakukan guru adalah bagian dari tugas guru dan tidak dapat dijatuhi pidana atau balik dianiaya , seperti yang dilakukan orangtua Alif pada pa Dasrul.
Faktor selanjutnya adalah paradigma guru dalam menanÂÂgani kenakalan siswa pun harus diperbaiki. Batasan yang lajim mencubit, memukul atau meÂÂnampar yang sering dilakukan sebagai upaya menertibkan siswa sudak tidak layak lagi diÂÂlakukan. Kewibawaan guru tiÂÂdak dapat dicapai dengan tidak penertiban fisik. Sebutan guru kejam atau killer sudah tidak cocok lagi di jaman sekarang, tetapi dengan memperlihatkan prestasi dan kecerdasan serta keteladanan akan menjadi kunÂÂci charisma guru pada siswa. Carilah alternative positif yang lebih aman bagi siswa baik seÂÂcara mental ataupun psikis. Misalnya dengan metode point kesahan, hukuman positif denÂÂgan membaca istigfar, melakÂÂsanakan shalat sunah atau denÂÂgan metode yang lain. Upayakan pula melakukan pembelajaran yang menarik dan menantangdi kelas sehingga siswa merasa senang dan mau menghabiskan energinya dalam belajar. Hal ini akan menimbulkan penghorÂÂmatan, kepercayaan dan rasa aman bagi siswa dan tentunya bagi orangtua.
Dibalik itu semua, tetap saja perlindungan dan keamanan bagi guru perlu diperbaiki kemÂÂbali. Pemerintah harus dapat menajamkan upaya sosialisasi bagi kewenangan guru dalam mendidik siswa. Tidak sedikit-sedikit main hajar atau main penjarakan guru, seakan pupus jasa sang guru di tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah pun harus dapat memberikan jalur pembelaan khusus pada guru yang tersandung konflik denÂÂgan orang tua. Jika kasus yang diadukan merupakan bagian dari proses pembelajaran atau masih dalam kegiatan di sekolah seharusnya dilakukan mediasi terlebih dahulu antara pihak orang tua dan pihak sekolah, jadi tidak langsung diperkaraÂÂkan. Selanjutnya bisa mediasi baik lewat organisasi profesi maupun satuan dinas terkait membahas permasalahan atau kasus yang terjadi, orang tua selayaknya percaya dan paham bahwa dengan memperkarakan tindakan guru adalah tidakan emosional yang menurunkan harkat kewibawaan guru dan mencederai proses mendidik itu sendiri.
Agar otoritas dan kewibawaan guru tetap pada porsÂÂinya, perlu dibuat perundangan baru yang lebih dapat memproÂÂteksi guru dari ancaman penÂÂgaduan dan kesewenangan. NaÂÂmun upaya harmonisasi antara guru, orang tua, dan masyaraÂÂkat jauh lebih penting dibanÂÂgun sedemikian rupa sebelum segala sesuatunya terjadi . Jaya selalu guru INDONESIA.
terimakasih