IBADAH haji telah tiba. Tiap orang yang berangkat haji dapat memelototi pemandangan modern di sekitar Masjidil Haram. Hotel-hotel bintang lima dari berb­agai kelompok usaha perhotelan raksasa dunia seperti Hilton, Marriot, Le Meridien, Swissotel, Raffles, dan terakhir dan yang paling kontroversial adalah Makkah Clock Royal Tower Hotel milik grup usaha perhotelan Fairmont seolah menenggelamkan keagungan Ka’bah. Clock Royal Tower Hotel bahkan menuai banyak pro­tes lantaran ia secara brutal telah merusak keseluru­han tata ruang dan tata kota Makkah yang sedianya memancarkan aura mistik.

Tapi pemandangan di atas baru satu persoalan yang kita rasakan saat berhaji di era modern ini.

Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya ialah munculnya semangat di antara jamaah haji untuk ber­belanja dan jalan-jalan. Atau ringkasnya berwisata seb­agaimana layaknya orang pergi ke Taman Mini, Carita, Ancol, Tanjung Kodok, dan sejenisnya. Banyak dari mer­eka yang merasa bahwa kegiatan belanja dan jalan-jalan itu merupakan bagian tak terpisahkan dari ibadah haji, mirip dengan kegiatan wisata pada umumnya. Berhaji tanpa membawa oleh-oleh itu kenistaan yang tak ter­tanggungkan buat sebagian, hingga seolah-olah ia meru­pakan salah satu rukun haji yang tak boleh ditinggalkan.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Sekarang ini, bagi sebagian orang, ibadah haji tak lebih dari upacara belanja. Dan memang ada desain untuk memecah perhatian ibadah ke arah konsum­erisme. Maka, tak salah bila ratu fashion dan sosiali­ta paling suka pamer pakaian, Paris Hilton, pernah ber­bangga mengumumkan diri membuka toko di Makkah.

Benarkah perilaku seperti ini? Sahkah ibadah haji dengan niat wisata seperti ini? Bukankah ini telah menjadikan pergi haji tak ubahnya pergi menonton pertandingan bola di Old Trafford, atau menonton Formula One di Monte Carlo, atau bahkan lebih ironis lagi, seperti kata Gus Mus, sama seperti ke Las Vegas?

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Terlepas dari perdebatan fiqih yang mungkin tim­bul dari pertanyaan di atas, tapi haji dengan niat wisata seperti berenang dengan niat panjat tebing. Alih-alih dapat dibenarkan, haji dengan niat seperti itu sesung­guhnya bertentangan dengan nilai inti haji itu sendiri. Pada saat Allah menyuruh para nabi berhaji, terutama Nabi Ibrahim, Allah ingin mereka menjadi hamba, menanggalkan egonya dan masuk ke Baitullah dengan hati yang bersih suci seperti saat mereka dilahirkan. Al­lah ingin menanamkan—atau lebih tepatnya menum­buhkan—di dalam jiwa mereka rasa kepasrahan, ketun­dukan, kepatuhan, tawajuh, pelepasan hasrat dunia, pengukuhan rasa taat dan kesiapan mengorbankan diri, hingga puncaknya fitrah tauhid kembali hidup di dalam diri pelaku haji. Dia haruslah seorang yang siap mengor­bankan apapun di jalan ini, termasuk putra tersayang­nya, letupan egonya dan semua hasrat dirinya.

============================================================
============================================================
============================================================