Amatan jurisprudence menempatkan hukum transportasi sebagai lex atau lege yakni peraturan perundang-undangan. Bila kita lihat Permenhub No. 32/2016, acuan norma yuridis-hirarkisnya adalah UU No. 22/2009 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Proposisi normatifnya, semua angkutan jalan harus tunduk dalam kewenangan perijinan yang diterbitkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan institusi otoritatif perhubungan. Secara spesifik, Pasal 40 sampai dengan Pasal 42 Permenhub No. 32/2016 mengenalkan frasa hukum ”Penyelenggaraan Angkutan Umum dengan Aplikasi Berbasis Teknologi Informasi”. Dilengkapi pula bahasa hukum Pasal 40 ayat (4), tata cara penggunaan aplikasi berbasis Teknologi Informasi mengikuti ketentuan di bidang informasi dan transaksi elektronik. Konklusinya, semua penyelenggara transportasi online yang dikenal publik saat ini, baik Uber, Grabb, atau Go-Jek, menerima pesan imperatif untuk tunduk pada segala persyaratan administratif yang dilakukan secara sentralistik.

Proposisi normatif dari jurisprudence itu patut diuji dalam semiotic jurisprudence, rumpun keilmuan yang membaca tanda-tanda bahasa dalam peraturan. Bahasa hukum ‘angkutan umum dengan aplikasi’ kurang koheren bila dibandingkan dengan sumber hukum ‘lex’ yang diacu oleh Permenhub ini, yakni sistem hukum lalu lintas dan angkutan jalan, dan pemerintahan daerah. Menurut penulis, semua angkutan umum dapat menggunakan aplikasi, entah menggunakan basis aplikasi Android/IOS, terlepas angkutan umum itu taxi konvensional, ojek konvensional, sampai yang terkategorikan angkutan ‘online’. Bahasa hukum yang mungkin lebih lugas adalah ’perusahaan jaringan transportasi (Transportation Network Companies; TNCs) karena karakteristik perusahaan ini menggunakan aplikasi online yang digunakan secara personal dan kendaraan non-komersial untuk berbagai layanan transportasi.

BACA JUGA :  PENTINGNYA SERAGAM SEKOLAH UNTUK KEBERSAMAAN

Devolusi, Deliberasi Warga

Konklusi semiotic jurisprudence berupa ‘perusahaan jaringan transportasi’ diatas masih perlu diuji secara sosiologis (sociology of law). Hukum Inklusif mengajukan proposisi sosiologis dengan fokus pada interaksi antara pelanggan dan penyelenggara layanan transportasi publik. Bagaimana kondisi objektif taxi, motor, transportasi umum (angkot), kendaraan sewa, dan layanan perusahaan jaringan transportasi (TNCs) di kota Bogor?

Sebagai perbandingan, Arden Glenn A. Paronda (et.al, 2016) melakukan riset di Filipina terhadap kinerja (performance) Uber, Grabb, dan taxi konvensional. Mereka meneliti kondisi semua layanan itu dalam variabel fleksibilitas dan jangkauan perjalanan yang dilakukan. Secara umum, layanan TNCs di Filipina secara objektif diakui sebagai transportasi publik. Agar layanan TNCs tidak tumpang tindih dengan transportasi konvensional dan memberikan kontribusi bagi sustainable transport, maka layanan TNCs direkomendasikan untuk berfungsi sebagai moda pendukung titik transit, penerapan prinsip ride-sharing (naik-berbagi), promosi keselamatan jiwa pelanggan, kompetisi harga yang menguntungkan pelanggan, dan sistem teknologi yang terkoneksi dengan otoritas negara.

BACA JUGA :  PENTINGNYA SERAGAM SEKOLAH UNTUK KEBERSAMAAN

Hasil riset di Filipina itu tentu parsial dan butuh kontekstualisasi dengan kondisi transportasi di kota Bogor. Titik transit yang akurat untuk menghubungkan antara moda transportasi ojek TNCs, angkot, tarif atas dan bawah, dan variabel sosiologis lainnya mungkin sudah dipikirkan para penyusun kebijakan hukum di kota Bogor.

Patut dikritisi, kewenangan daerah otonom (kabupaten/kota) hanya menerima ’mandat’ dari pusat untuk penentuan tarif dan lainnya, sedangkan dinamika lapangan lebih membutuhkan ’delegasi’ (pelimpahan otoritas) agar Walikota lebih inovatif mencari terobosan kebijakan derivatif.  Urusan transportasi dalam relasi korporasi transnasional, negara, dan warga negara ini masih dibayangi paradigma desentralisasi administratif, ketimbang devolusi yang lebih cepat dalam pengambilan keputusan oleh daerah kabupaten/kota.

Seiring dengan devolusi yang berada pada aras struktural-makro, solusi standar yang mencerminkan interaksi antar kelompok masyarakat adalah tindakan dari Walikota untuk memastikan prosedur-deliberatif yang menjamin hak warga dalam menerima dan mengontrol layanan transportasi konvensional dan TNCs, agar warga tidak menjadi korban kebijakan di pinggir jalan. ***

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================