Bila perusahaan angkutan umum, seperti taksi bekerja sama dengan perusahaan aplikasi, perusahaan aplikasi tidak boleh bertindak sebagai penyelenggara angkutan. Maksudnya, perusahaan aplikasi tidak boleh mengatur tarif, merekrut pengemudi, dan menentukan besaran penghasilan pengemudi.

Perusahaan penyedia aplikasi, misalnya Uber dan Grab dengan layanan GrabTaxi, juga diwajibkan memberi akses monitoring pelayanan, data semua perusahaan angkutan umum yang bekerja sama, data semua kendaraan dan pengemudi, dan alamat kantornya sendiri. Perusahaan aplikasi yang menyediakan jasa angkutan orang menggunakan kendaraan bermotor juga diwajibkan mengikuti ketentuan pengusahaan angkutan umum yang dimuat dalam Pasal 21, 22, dan 23 Permen No 32 Tahun 2016. Ketentuan tersebut antara lain meminta perusahaan aplikasi mendirikan badan hukum Indonesia. Bentuk badan hukum yang diakui adalah Badan Usaha Milik Negara, badan usaha milik daerah, perseroan terbatas, atau koperasi. Perusahaan aplikasi juga diminta untuk menyelenggarakan izin angkutan orang tidak dalam trayek. Syaratnya antara lain mesti memiliki minimal lima kendaraan atas nama perusahaan, lulus uji berkala, memiliki pul dan bengkel, serta pengemudi harus memiliki surat izin mengemudi (SIM). Permenhub Nomor 32 Tahun 2016 ini disahkan pada Maret 2016 lalu dan mulai berlaku pada September 2016. Aturan ini juga telah dirangkum dalam laman publikasi produk hukum di situs resmi Kemenhub.

(sumber : http://mozaic.co.id/male/my-blue-bird-uber-grabcar-aplikasi-taksi-online-indonesia/)

Pun Permenhub Nomor 32 Tahun 2016 sudah resmi diberlakukan, konflik antara transportasi online dan konvensional masih saja terjadi di sejumlah daerah. Jika merujuk pada grafik di atas, terlihat jelas perang tarif terjadi di lapangan. Perbandingan tarif dasar dan berjalan sangat terlihat drastis antara taksi online dengan taksi konvensional (dalam hal ini Blue Bird). Para sopir taksi konvensional menilai, Uber dan GrabCar melakukan monopoli harga, sehingga tarif yang diberlakukan keduanya jauh lebih murah dibanding transportasi umum konvensional. Akibatnya, penumpang lebih memilih menggunakan layanan tersebut ketimbang transportasi umum konvensional.

Saat ini layanan taksi di Jakarta terbagi atas taksi yang menggunakan tarif batas atas, seperti Blue Bird; dan tarif batas bawah, antara lain Express, Taxiku, dan Primajasa. Pada tarif batas atas, ongkos yang dikenakan saat buka pintu adalah Rp8.000, ongkos per kilometer sebesar Rp4.600, dan ongkos untuk waktu tunggu Rp55.000 per jam. Pada tarif bawah, ongkos yang dikenakan saat buka pintu adalah Rp7.500, ongkos per kilometer sebesar Rp4.000, dan ongkos untuk waktu tunggu Rp45.000 per jam. Ketentuan tersebut berdasarkan Keputusan DPD Organda DKI dalam surat bernomor 512/DPD/ORG-DKI/I/2015 perihal pemberitahuan tarif angkutan umum di Jakarta.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

(Sumber: http://foto.metrotvnews.com/view/2017/03/16/672362/perbandingan-tarif-taksi-online-dan-konvensional)

Tarif taksi daring seperti Uber dikenakan ongkos Rp3.000 saat membuka pintu dan Rp2.000 per kilometer (Rp200 per 100 meter). Sedangkan per jamnya dikenakan ongkos Rp18.000 dengan Rp300 menitnya. GrabCar memberlakukan tarif datar (flat), dengan tidak ada argometer, tarif buka pintu, tarif pesan, maupun macet dan tidak macet akan tetap sama. Hanya saja ada perhitungan jam sibuk dari pukul 16.00-19.00 WIB. Tarif minimum adalah Rp10.000, dengan Rp1.000 setiap kilometernya. Dengan melihat perbandingan tarif inilah, para pelanggan taksi dan angkutan konvensional berpindah jasa. Kecemburuan antar sopir taksi pun mulai muncul.

Puncak konflik tarif ini terjadi pada Maret 2017, konflik dan bentrok pecah antara sopir angkot dengan taksi online di Kawasan Tangerang. Kemudian, meluas ke Kota Bogor. Aksi demo juga dilakukan dari kedua sopir baik online maupun konvensional. Mereka sama-sama meminta keadilan kepada pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Aksi demo juga dibarengi dengan aksi mogok narik yang dilakukan oleh ribuan sopir angkot konvensional (angkot). Akibat dari aksi ini, banyak masyarakat Kota Bogor yang menerima dampaknya, seperti sulitnya mendapatkan transportasi. Aktivitas ekonomi dan sosial di Kota Bogor pun mengalami kelumpuhan selama beberapa hari, pelajar dan mahasiswa kesulitan melakukan mobilisasi. Pekereja kantoran juga mengalami keterlambatan masuk kerja.

Mencegah dampak meluas ke daerah lainnya, akhirnya 14 Maret 2017, Pemerintah Pusat merevisi aturan tarif dalam Permenhub Nomor 32 Tahun 2016. Ada 11 poin revisi yang disebutkan dalam aturan baru ini, diantaranya jenis angkutan sewa, kapasitas silinder mesin kendaraan, batas tarif angkutan sewa khusus, kuota jumlah angkutan sewa khusus, kewajiban Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) berbadan hukum, pengujian kendaraan secara berkala, pool atau tempat penyimpanan kendaraan, bengkel, aturan pajak, akses dashboard dan sanksi atas pelanggaraan perusahaan aplikasi diberikan oleh Menteri Kominfo dengan melakukan pemutusan akses (pemblokiran) sementara terhadap aplikasi sampai dengan dilakukan perbaikan. Revisi Permenhub Nomor 32 Tahun 2016 ini berlaku mulai 1 April 2017. Pemerintah  berharap dengan aturan baru ini, gesekan antara taksi online dengan taksi konvensional bisa diminimalisir.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Namun, apakah dampak dikeluarkannya revisi aturan ini bisa berjalan sebagaimana ekspektasi publik dan pemerintah, hingga kini masih menjadi pertanyaan. Pemerintah sudah seharusnya tegas dalam menyelesaikan dan membuat aturan terkait transportasi online ini. Produk hukum yang diterbitkan pun seharusnya berkeadilan dan tak memberatkan kedua pekerja transportasi baik online maupun kovensional.

Sosialisasi aturan baru ini sudah sepatutnya dilakukan ke seluruh daerah yang mengoperasikan jejaring aplikasi transportasi online. Politik hukum yang baik juga harus dilakukan dengan melibatkan koordinasi dan komunikasi organda dan jajaran aparatur daerah, mulai dari gubernur, bupati, walikota hingga jajaran muspida lainnya. Hal ini penting mengingat dalam revisi Permenhub Nomor 32 Tahun 2016 ini pengaturan tarif taksi  dan ojek online kewenangannya diserahkan kepada pemerintah daerah. Artinya, produk hukum pengaturan ojek online ini nantinya berbentuk Perwali atau Perbup. Dasar hukum untuk menerbitkan Perwali dan Perbup ini mengacu kepada Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah dan Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan. Melalui Undang Undang Otonomi Daerah, pemerintah daerah bisa mengatur pembagian zona, kuota, keamanan dan ketertiban berkaitan dengan ojek online kedepan. Perbup dan perwali ini dirasa mendesak karena revisi Permenhub mulai diberlakukan 1 April 2017. Alasan lainnya adalah, sampai saat ini belum ada satupun pemerintah daerah di Indonesia yang memiliki aturan tentang transportasi berbasis aplikasi daring tersebut. Sementara, persentase angkutan online yang ada yakni 12.000-15.000 unit, hanya 20 persen yang terdaftar secara resmi dan melakukan seperti yang tertuang dalam Permenhub tersebut. Pertanyaan yang sampai saat ini muncul adalah, apakah pemda siap menyusun perwali ini dengan azas keadilan (baik baik sopir onine maupun konvensional?. (***)

 

 

 

Halaman:
« ‹ 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================