JAKARTA TODAYÂ – Menteri Hukum dan Hak Asasi ManuÂsia (MenkumHAM), Yasonna Laoly berencana akan tetap menunculkan kembali pasal penghinaan Presiden dalam Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasalnya, penÂerapan pasal itu diperlukan untuk menjaga kewibawaan seorang pemimpin negara seÂbagai Individu.
“Jangankan Presiden, setiap warga masyarakat pun berhak untuk menuntut untuk mendapatkan proses hukum yang sesuai karena itu adalah hak setiap individu,†kata YaÂsonna kepada wartawan seusai meresmikan Lembaga PembiÂnaan Khusus Anak di ArcamaÂnik, Bandung, Rabu(5/8/2015).
Sebelumnya, kata YasonÂna, pasal itu sudah digulirkan dalam RUU KUHP semenjak jaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dibahas sampai tingkat Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, YaÂsonna mengaku pasal yang akan ditetapkan saat ini cukup berÂbeda dengan dengan pasal sebeÂlumnya. Tepatnya mengenai deÂlik umum untuk penangkapan orang yang melakukan pengÂhinaan. “Pasal itu sudah ada pada jaman SBY dulu, sudah dimasukkan dan sudah di bahas di DPR. Perbedaannya, kalau dulu ketentuan itu sifatnya delik umum, kalau ada orang dirasa menghina presiden langsung ditangkap. Tapi sekarang tidak begitu, harus ada aduan dulu,†ujar dia.
Menurut Yasonna, revisi RUU KUHP tentang pasal itu difungsikan sebagai perangÂkat hukum yang semestinya melindungi dan menjaga hak setiap individu, tidak terkeÂcuali Presiden dan jajaran pejabat pemerintahan lainnya. “Kalau Pak Jokowi melaporkan masalah penghinaan itu, ya akan diproses secara hukum, tapi kan beliau tidak,†ucapnya. “Semua orang dimata hukum itu sama. Masa boleh mengÂhina orang kecuali presiden? enak aja lo. Kalau anda mengÂhina saya, sekarang juga saya bisa melaporkan. Begitu juga dengan anda. Karena sekarang sudah berbeda, sifatnya pentÂing dan kita ini bangsa yang yang beradab, bangsa yang berbudi,†kata dia.
Sebelumnya, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddique mengatakan menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden sudah diusulkan sejak pemerintahan lalu. Padahal, kata Jimly, pemÂbatalan pasal tersebut dipuji oleh Dewan Hak Asasi Manusia di PBB. “Dalam special report, Dewan HAM PBB mengatakan kita dua langkah lebih maju dari banyak negara lain, terÂmasuk negara-negara Eropa seperti Belgia, Swedia, dan BeÂlanda,†kata Jimly.
Menurut Jimly, pasal pengÂhinaan merupakan warisan feodalisme. Di mana mengangÂgap pemimpin negara sebagai simbol negara. Padahal, kata Jimly, dalam Undang-Undang Dasar Pasal 36, simbol negara atau lambang negara adalah burung garuda.
Presiden, kata Jimly, bisa melapor ke polisi jika merasa dihina. Namun, kata dia, tak sebagai institusi, tapi sebagai individu.
(Yuska Apitya/net)