ADANYA tuntutan para anggota dewan terkait dengan sistem pendanaan pembangunan daerah pemilihan yang bernama Usulan Program Pengembangan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang belakangan dikenal sebagai `dana aspirasi’ telah mendatangkan polemik yang sangat riuh beberapa hari terakhir ini.
Oleh: DEDDY S BRATAKUSUMAH
Andaikata usulan ini disetujui dan diterapÂkan, akan diperlukan penyesuaian bahÂkan perubahan dari berbagai peraturan yang terkait dengan perencanaan pembanÂgunan dan penganggaran dalam sistem keuangan negara. Sejauh ini UP2DP tidak dikenal di dalam kaidah peraturan perundangan yang terkait dengan perencanaan pembangunan dan penganggaran yang selama ini diberlakukan.
Berdasarkan ketentuan yang ada, selayaknya berbagai kegiatan yang akan didanai oleh APBN haÂrus tertuang di dalam rencana kerÂja pemerintah (RKP) tahun yang akan datang. Ketentuan ini tertuÂang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 40/2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana PemÂbangunan Nasional. Secara rinci di dalam PP itu dikatakan bahÂwasanya presiden menetapkan rancangan akhir RKP menjadi RKP dengan peraturan presiden paling lambat pertengahan Mei. SelanÂjutnya RKP yang telah ditetapkan dibahas dengan DPR dan hasilnya digunakan sebagai pedoman peÂnyusunan RUU APBN.
Sementara itu, menurut UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, penyusunan rancangan APBN berpedoman kepada RKP. Adapun RKP, menurut UU No 25/2004 tentang Sistem PerenÂcanan Pembangunan Nasional, merupakan penjabaran rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang memuat prioritas pembangunan, rancanÂgan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran ekonoÂmi secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta proÂgram kementerian/lembaga, lintas kementerian/lembaga, kewilayaÂhan dalam bentuk kerangka reguÂlasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKP itu sendiri pada dasarnya merupakan renÂcana yang akan dilaksanakan oleh tiap-tiap kementerian/lembaga dan ditransfer ke daerah. Semua kegiatan yang dapat dilaksanakan harus memiliki penanggung jawab dan penanggung gugat.
Jadi sangat jelas, tidak ada satu pun kegiatan belanja barang dan belanja modal yang akan diÂlaksanakan oleh pemerintah dan akan didanai oleh APBN dapat terwujud tanpa melalui proses penyu sunan RKP. Lebih jauh lag dana dari pusat yang ditranfer ke daerah penyalurannya sudah terstruktur dan terbakukan, sebÂagaimana diatur dalam UU No 33 Tahun 2004 tentang PerimbanÂgan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Penyalurannya dilakukan melalui: (1) dana bagi hasil (DBH), bagi dana yang berasal dari sumber daya alam daerah yang dapat diekspor, (2) dana alokasi umum (DAU), bagi pembiayaan belanja pegawai dan dana block grant yang pengeluarÂannya didasarkan pada asas otoÂnomi daerah, dan (3) dana alokasi khusus (DAK), dana yang diperunÂtukkan bagi pembiayaan program prioritas nasional yang tidak dapa didanai oleh daerah atau sumber dana lainnya.
Menyimak atas berbagai keÂtentuan peraturan perundangan tersebut, sudah selayaknya apaÂbila `dana aspirasi’ ini masuk atau disalurkan ke salah satu kategori dana yang ditransfer dari pusat ke daerah. Kenapa demikian? Karena konon menurut rencananya `dana aspirasi’ ini diperuntukkan bagi daerah pemilihan. Dari substansi usulan yang disampaikan oleh DPR, maka wahana penyaluran `dana aspirasi’ yang paling tepat ialah melalui dana alokasi khusus.
Dari hakikat berbagai jenis peÂnyaluran dana ke daerah, sebenaÂrnya tidak perlu lagi ada `dana aspirasi’, karena berdasarkan keÂtentuan yang berlaku, sejak awal DPR telah terlibat dalam pemÂbahasan rencana penganggaran yang akan tertuang dalam APBN. Anggota DPR cukup mengawal dan mengamankan bahkan meÂmaksa dianggarkan dalam DAK untuk pelaksanaan program pemÂbangunan yang akan dilakukan di daerah pemilihannya. Toh, yang melaksana kan dan yang memperÂtanggungjawabkan serta memperÂtanggunggugatkan program ialah daerah yang bersangkutan sebagai penerima DAK.
Dengan penyaluran melalui DAK, akan lebih jelas daerah penerima dan pelaksananya. Penetapan penerima DAK didasarÂkan pada wilayah administratif, bukan didasarkan kepada daerah pemilihan (dapil). Karena sebÂagaimana kita ketahui, sebagian besar dapil (dalam Pemilu 2014 yang lalu) terdiri atas lebih dari satu kabupaten atau kota, bahkan ada yang merupakan sebagian dari suatu kota atau kabupaten.
Dengan demikian, ketentuan konstitusi yang memberikan `hak budget’ kepada parlemen sebenaÂrnya telah menyiratkan dan meÂnyuratkan bahwa APBN semestiÂnya sudah merupakan cerminan aspirasi masyarakat yang disamÂpaikan melalui para anggota DPR sebagai wakil rakyat.
Lebih jauh lagi, ketentuan yang tertuang dalam UU No 17/2014 tenÂtang MPR, DPR, DPD dan DPRD, pada Pasal 80 huruf j sekalipun, bunyinya ialah, `mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan’. Jadi, sebenarnya tidak perlu lagi ada cara penyaluran dana lainnya semacam `dana aspirasi’, selain dari wahana-wahana penyaluran dana ke daerah yang telah ada. Para anggota DPR, apabila meÂmang ingin menyalurkan aspirasi para pemilihnya, cukup mengaÂwalnya dalam pembahasan APBN, terutama pembahasan terkait dengan DBH, DAU, dan DAK.
Dana aspirasi, apabila dipakÂsakan untuk diterapkan, akan merusak tatanan sistem perencaÂnaan dan penganggaran pembanÂgunan yang sudah berjalan saat ini. Pada gilirannya memerlukan revisi berbagai peraturan perundangan yang terkait, dan ini sangat sulit. â—
#Penulis: Praktisi Pemerintahan Widyaiswara Utama di Bappenas;
Mantan Deputi Tata Laksana Menteri PAN dan Rebiro Alumnus ATN, ITB, juga University of Miami, dan Cornell University di Amerika Serikat