DALAM dunia pendidikan Islam, nasehat Sayyidina Ali ra., menjadi acuan yang sering disampaikan oleh para Ustadz, ketika membahas topik pendidikan anak. “Didiklah anakmu sesuai dengan jamannya, karena mereka hidup bukan di jamanmuâ€. Itulah nasehat atau quote terkenal dari Sayyidina Ali. Nasehat itu sangat relevan ketika kita membahas perkembangan jaman yang selalu berubah. Tantangan terbesar orang tua saat ini adalah mendidik anak dalam era serba instan, era digital.
Oleh: syabar suwardiman
Kepala Bidang Akademik dan Penjaminan Mutu Direktorat Pendidikan dan Yayasan Bina Bangsa Sejahtera Bogor
Penggunaan perangkat digital atau dawai suÂdah menjadi kesehariÂan hampir seluruh penÂduduk di jagat raya, termasuk Negara Indonesia. PenÂgenalan perangkat digital tanpa disertai pemahaman yang tepat dari orang tua akan menjadi buÂmerang yang membahayakan tumbuh kembang anak. Hal ini sudah terbukti, riset yang selama 20 tahun dilakukan oleh Yee Jin Shin seorang psiakiter dari NegaÂra produsen perangkat digital KoÂrea Selatan menyatakan bahaya dan ancaman ketika dawai atau gadget ini dikenalkan pada anak usia dini.
Yee-Jin Shin, mengatakan bahÂwa perangkat digital berbahaya jika dikenalkan kepada anak sejak kecil. Dalam bukunya, Jin Shin menyampaikan banyak kasus anak-anak yang menjalani perÂawatan di rumah sakit karena terÂlalu dini mengenal video ajar dan buku pelajaran pada masa awal berkembangnya tren pendidikan anak usia dini (PAUD). Mereka miÂrip autis, kemampuan bahasa dan bersosialisasinya kurang.
Banyak orang tua yang datang membawa anak berkonsultasi ke kliniknya karena perilaku merÂeka yang aneh. Keanehan itu adalah dari luar mereka tampak pintar, rapi dan sehat, namun keÂtika diajak berkomunikasi, mereÂka tidak memahami apa yang ada di benak pikiran mereka.
Mereka bahkan sering memÂbantah dan melawan kata-kata orangtua dan gurunya, mereka seolah hidup dengan dunianya sendiri, atau mementingkan keÂpentingan dirinya sendiri. DiduÂga karena penekanan pada penÂdidikan emosi berkurang, atau kurangnya kecerdasan emosinya (EQ). Padahal EQ merupakan faktor yang paling mendasar dari perkembangan kemampuan berÂsosialisasi dan daya pikir anak.
Lebih jauh Jin Shin meÂnyatakan, banyak anak-anak yang perkembangan fisiknya baik, tetapi tidak demikian dengan mentalnya. Pertumbuhan fisik mereka tidak disertai perkemÂbangan mentalnya. Mereka tumÂbuh tanpa kematangan jiwa, Jin Shin menyebutnya dengan istilah matang semu atau matang karÂbitan (pen). Secara fisik mereka kelihatan matang, namun tidak dengan mental mereka, mereka cenderung impulsif, tidak tahu sopan santun dan tidak memiliki rasa bersalah.
Menurut para ahli psikiaÂter, anak-anak matang semu ini adalah anak yang mengalami popcorn brain. Popcorn brain adalah kondisi otak anak yang terbiasa dengan layar perangkat digital (tv cerdas, smartphone, computer) yang senantiasa mereÂspons stimulus kuat hingga otak meletup-letup. Anak-anak denÂgan kondisi ini tidak bisa mereÂspon stimulus sehari-hari yang biasa saja. Karena otak mereka terbiasa melakukan banyak hal sekaligus (multi tasking) di perÂangkat digital, dan akhirnya struktur otak mereka cenderung tidak bisa beradaptasi dengan dunia nyata.
Jin Shin memberikan solusi, yaitu perlunya digital parentÂing atau pola asuh anak ketika berhadapan dengan perangkat digital. Digital parenting adalah memberikan batasan yang jelas kepada anak tentang hal-hal yang boleh maupun yang tidak boleh dilakukan saat menggunakan perangkat digital. Intinya orang tua perlu terlibat dalam mengaÂtur penggunaan perangkat digiÂtal oleh anak, dengan demikian efek negatif perangkat digital justru menjadi positif bagi pendiÂdikan anak.
PERLUKAH PERANGKAT DIGIÂTAL DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA BELIA?
Ada yang menarik dan menÂjadi kontroversi, apakah anak-anak usia TK dan SD sudah boleh menggunakan dawai ? JawabanÂnya masih menjadi perdebatan di dunia pendidikan, terutama bagi anak-anak usia TK dan SD. MaÂjalah Intisari dalam terbitan taÂhun 2015 setidaknya menurunkÂan 3 tulisan mengenai dawai ini, yang menarik ternyata para petÂinggi di Silicon Valley (Lembah Silikon) menyekolahkan anak-anak usia TK dan SD di sekolah konvensional yang bebas dari dawai ini.
Mereka menyekolahkan anaknya ke Waldorf School of the Peninsula, sekolah ini denÂgan sengaja tidak menggunakan komputer atau perangkat digital lainnya. Anak-anak secara senÂgaja dijauhkan dari perangkat komputer atau gadget lainnya. Sekolah fokus pada aktivitas fisik, kreativitas, dan kemampuan ketÂrampilan tangan para murid. Anak-anak tak diajarkan mengeÂnal perangkat laptop atau tablet. Mereka biasa mencatat dengan pulpen di atas kertas, mengguÂnakan lem perekat ketika memÂbuat prakarya, belajar merajut dengan jarum, hingga bermain-main dengan tanah setelah seleÂsai pelajaran olahraga.
Di antara orang tua yang meÂnyekolahkan anaknya di Waldorf adalah Alan Eagle, staf ahli di Google menjabat sebagai DirekÂtur Eksekutif Bidang KomuniÂkasi di Google. Ia mendukung sepenuhnya metode pendidiÂkan yang dilakukan di Waldorf. Dengan lugas Eagle menyatakan bahwa “Anak saya baik-baik saja, meskipun tak tahu bagaimana caranya menggunakan Google. Anak saya yang lain, yang sekaÂrang di kelas dua SMP, juga baru saja dikenalkan pada komputer,â€
Kondisi sebaliknya terjadi di negara kita, dawai diberikan semata-mata agar anaknya diam/ anteng, tidak rewel. Dawai berÂperan sebagai babysitter, dan orang tua bisa melakukan aktiviÂtas lain. Sebagian orang tua jaÂman sekarang tidak mau susah, mereka dengan sengaja memÂberikan dawai pada anaknya agar tenang dan diam. Prinsip yang penting tidak rewel inilah justru sikap yang membahayakan kareÂna anak-anak usia dini sampai SD kelas 3 masih perlu bimbingan dan pengawasan langsung dari orang tuanya.
Parenting dari Sayyidina Ali ra, yang membagi menjadi tiga kelompok usia, masih sanÂgat relevan, ketika usia anak 0-7 tahun perlakukan dia sebagai raja. “Raja†bukan berarti segala kemauannya tidak bisa ditolak, tetapi di usia ini rasa ingin taÂhunya “sangat besarâ€, sehingga orang tua tidak boleh mengeluh kelelahan ketika anaknya menÂgajak beraktivitas meskipun peÂkerjaan di kantor atau di rumah sedang menumpuk. Inilah saat perkembangan mental, fisik dan kemampuan berpikirnya sedang berkembang.
TUJUH PRINSIP DIGITAL PARÂENTING YANG HARUS ORANG TUA KETAHUI
Dalam buku Mendidik Anak Di Era Digital, Jin Shin menjelasÂkan lebih jauh 7 prinsip yang haÂrus menjadi pegangan orang tua dalam mendidik anaknya di era digital, yaitu :
Pertama, yang terpenting buÂkan “apa†jenisnya (smartphone, tablet atau dawai lainnya), meÂlainkan “kapan†perlu memberiÂkannya. Pada saat ini banyak orang tua yang memberikan dawai pada anaknya lebih memÂpertimbangkan pada “merk, jeÂnis dan harganyaâ€. Seperti biasa ini “gengsi ibu-ibu disaat kumpul menjemput anak atau arisan. Padahal yang terpenting justru memikirkan “kapan†perlu memÂberikan anak perangkat digital. Ada beberapa pendapat menÂgenai hal ini, seorang psikolog mengatakan saat yang tepat di usia 10 tahun (kelas 4 SD), karena penanaman karakter baik sudah tertanam sekitar 70% (tujuh puÂluh persen).
Kedua, kualitas lebih penting daripada kuantitas, agar digital parenting menjadi efektif, hal paling awal yang harus orang tua lakukan adalah menentukan perÂaturan yang jelas tentang kapan “waktu†yang tepat. Misalnya, saat Maghrib sampai Isya adalah saatnya mengaji kemudian diÂlanjutkan belajar atau mengerÂjakan PR, sesudah itu anak boleh menggunakan perangkat digital selama satu jam. Sementara di akhir pekan boleh lebih lama tetapi tetap ada pembatasan.
Ketiga, tentukan sanksi ketika anak melanggar janjinya, perlu dibuat peraturan yang sudah didiskusikan antara orang tua dengan anak sebelum memberiÂkan perangkat digital atau dawai tadi. Jika anak tidak mematuhi peraturan yang telah ditetapkan saat menggunakan perangkat digital, si anak harus bersedia menerima sanksi tegas yang telah disepakati. Jangan sekali-kali memberikan toleransi atau melÂonggarkan sanksi. Ini agar anak belajar konsekuensi.
Keempat, jelaskan alasan ditetapkannya peraturan, orang tua harus menjelaskan alasan dibuatnya peraturan dan batasan penggunaan perangkat digital dengan benar. Dengan begitu, anak merasa perlu untuk meÂnepatinya. Jika orang tua memÂberitahunya tanpa penjelasan yang konkret dan secara sepihak, maka anak bisa melawan. Tetap tidak boleh dengan bentakan atau hardikan karena tetap membawa efek psikologis, tetapi selalu disÂertai dengan contoh bahwa terlalu lama di depan dawai bisa melalaiÂkan dia dari tugas-tugas lainnya.
Kelima, berbagilah pengalaÂman tentang perangkat digital dengan anak, orang tua harus menjadi “teman†bagi anak denÂgan cara mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai anak. Jika orang tua dan anak berÂhubungan seperti layaknya teÂman, maka akan tercipta suasana obrolan dua arah yang nyaman karena masing–masing pihak bisa mengobrol secara terbuka bahkan sampai membuatnya menceritakan rahasianya.
Selamat menjadi orang tua di era digital!