JAKARTA, TODAY — Badan Pusat Statistik (BPS) meriÂlis hasil survei perilaku antikorupsi masyarakat Indonesia pada 2015. Sejumlah daerah diÂantaranya Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Serang merupakan kaÂwasan rawan suap, terutama dalam bidang investasi dan perizinan.
Kepala BPS, Suryamin, indeks perilaku antikorupsi (IPAK) Indonesia tahun 2015 diketahui sebesar 3,59, atau menurun dibandingÂkan tahun sebelumnya.
IPAK dihitung dalam skala 0 sampai 5. Semakin mendekati angka 5, indeks dinilai lebih baik dan kian menuju masyarakat anÂtikorupsi. Angka taÂhun ini sedikit lebih rendah dibandingkan capaian pada 2014, yakni 3,61. “Nilai IPAK yang semaÂkin mendekati nol menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi,†jelas Suryamin dalam jumpa pers, di kantor pusat BPS, Jakarta, Selasa(23/2/2016).
Data yang dikumpulkan mencakup dua hal. Pertama, penilaian masyarakat terhadap kebiasaan korupsi. Data itu menghasilkan indeks persepsi antikorupsi. Kedua, penÂgalaman langsung pada 10 jenis pelayÂanan publik yang menyangkut penyuapan, pemerasan, dan nepotisme. Data tersebut menghasilkan indeks pengalaman anÂtikorupsi.
Adapun 10 pelayanan publik yang diÂmaksud, menurut Suryamin, yakni penguÂrusan surat administrasi pada level RT, RW, kantor kelurahan/desa, kantor polisi, kanÂtor Perusahaan Listrik Negara (PLN), rumah sakit, sekolah-sekolah negeri, lembaga perÂadilan, kantor urusan agama (KUA), dinas kependudukan, dan dinas pertanahan.
Suryamin menunjukkan, berdasarkan survei tahun 2015 itu, indeks persepsi anÂtikorupsi masyarakat Indonesia (3,73) lebih tinggi ketimbang indeks pengalaman anÂtikorupsi (3,39). Dibandingkan tahun 2014, indeks persepsi antikorupsi sebesar 3,71 poin, sedangkan indeks pengalaman anÂtikorupsi sebesar 3,49 poin.
Bila ditilik dari tahun 2012 hingga 2015, ada tren peningkatan dalam hal indeks persepsi antikorupsi. Sebaliknya, dalam periode yang sama, indeks pengalaman anÂtikorupsi trennya menurun. “Terkesan maÂsyarakat semakin membenci korupsi namun tidak sejalan dengan perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari,†ungkap Suryamin.
Yang mengecewakan, menurut SuryÂamin, yakni berdasarkan karakteristik usia responden. Ternyata, perilaku antikorupsi responden kisaran termuda (berusia kurang dari 40 tahun) tak sebaik responden tua. Survei 2015 menunjukkan, IPAK responden berusia kurang dari 40 tahun yakni 3,59 poin. Angka itu justru lebih buruk dibandÂingkan hasil pada 2014, yakni 3,63 poin.
Survei 2015 menunjukkan, IPAK reÂsponden usia 40-59 tahun yakni 3,62 poin. Sedangkan, IPAK responden usia lebih dari 60 tahun, yakni 3,49. Survei BPS ini, lanjut SuryÂamin, dilaksanakan di 170 kabupaten/kota pada 33 provinsi seluruh Indonesia. Jumlah sampelnya mencapai 10 ribu rumah tangga yang dipilih secara acak dalam dua tahap.
Sementara itu, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), PaÂhala Nainggolan menilai hasil survei BPS realistis. Meski ada warga yang teguh anÂtikorupsi, dia sering kali terpaksa memberi “uang pelicin†lantaran budaya birokrasi setempat yang masih koruptif atau niÂrefisien. “Memang, di beberapa daerah pelayanannya baik. Tapi, hampir sebagian besar masih begitu-begitu saja. Padahal, pengetahuan masyarakat (tentang anÂtikorupsi) sudah semakin tinggi. Misalnya, Jakarta, Bogor, Depok dan Tangerang itu, kita masukkan dalam ring satu kawasan rawan suap izin,†kata Pahala Nainggolan, Selasa (23/2/2016).
Namun, dengan pemilihan kepala daeÂrah (pilkada) 2015 silam, hingga kini setiÂdaknya ada 269 kepala daerah baru. Untuk tahun depan, jumlah itu bisa bertambah sebanyak ratusan orang. Menurut Pahala, kepada merekalah KPK lebih mendorong pengentasan budaya birokrasi koruptif sehingga dapat memunculkan komitmen serta harapan-harapan baru.
Dia mengungkapkan, dalam beberapa tahun terakhir, KPK aktif mendekati seÂjumlah daerah yang pemimpinnya punya reputasi antikorupsi, diantaranya sebut dia, Bandung, Surabaya, Bogor, Bantaeng, Batang, dan DKI Jakarta. Tujuannya memÂpelajari sistem kerja dan aplikasi birokrasi yang mereka terapkan. “Kopi ya aplikasinÂya, SOP-nya, pembelajarannya. Jadi detail banget. Dan kalau aplikasi, kita maunya itu berbasis yang gratis (bukan software berÂbayar—Red),†ucap dia.
Yang Pahala maksud yakni agar seluruh Pemda di Indonesia mulai diharuskan mengÂgunakan aplikasi e-budgeting dan e-proÂcurement serta perizinan satu pintu. DenÂgan begitu, kontak langsung antara warga atau swasta dan pemda bisa diminimalkan. Untuk itu, ungkap Pahala, KPK mulai aktif mendekati Kementerian Dalam Negeri (KeÂmendagri) agar membuat peraturan menteri yang mengikat semua kepala daerah.
Adapun peran KPK lebih pada upaya pencegahan. Sebab, dugaan tindak pidana korupsi di daerah-daerah lebih didominasi potensi kerugian negara yang kecil, misalÂnya berkisar Rp 1 miliar. Untuk itu, lanjut Pahala, KPK akan bekerja sama dengan BPKP di daerah-daerah terkait koordinasi supervisi pencegahan.
KPK juga diungkapkannya sedang meÂlobi menteri keuangan agar pemberian dana intensif daerah (DID) hanya bisa diÂberikan bila suatu pemda sudah menerÂapkan e-budgeting, e-procurement, dan perizinan satu pintu. Syarat-syarat tersebut di samping syarat yang memang sudah berÂlaku, yakni APBD kabupaten/kota itu tepat waktu dan pemda mendapat opini WTP. Total DID berjumlah mencapai Rp 5 miliar. “Jadi itu cara kita mendorong pemda (unÂtuk antikorupsi). Paling enggak, kita bantu kepala-kepala daerah yang mau benar. Yang enggak mau benar, biarkan saja. Nanti ditindak,†kata Pahala.
Menurut dia, umumnya ada tiga penyaÂkit yang diidap daerah-daerah yang korup. Pertama, pengelola APBD yang diintervenÂsi, baik oleh kepala daerahnya maupun okÂnum DPRD. Kedua, proses pengadaan baÂrang dan jasa dilakukan tanpa lelang yang transparan.
(Yuska Apitya Aji)