ARUS sekulerisasi di seluruh bidang kehidupan berbangsa dan bernegara nampaknya belum akan berhenti, bahkan nampak semakin deras. Tercerabutnya nilai-nilai penghayatan agama dalam memaknai setiap tindakan para pemangku amanah negeri ini kian menganga. Agama hanya dianggap sebagai urusan pribadi dengan Tuhan, sementara urusan duniawi tak diperlukan nilai dan spirit agama. Padahal sila Ketuhanan Yang Maha Esa mensyaratkan pentingnya nilai agama sebagai landasan teologis dan praksis dalam bernegara.
Oleh: DR. AHMAD SASTRA, MM
Dosen Filsafat Pascasarjana UIKA Bogor
Rasa keberagamaan (spiritualitas) yang menyatakan bahwa seÂtiap manusia memiliki kecenderungan untuk bertuhan adalah naluri bawaan sejak manusia dilahirkan. Tak seorangpun dapat menghindari rasa berketuhanan ini. Jika ada manusia mengaku dirinya atheis, sungguh dia telah mengingkari hati nuraninya sendiri. Dalam kesÂedihan, biasanya orang lantas terÂingat akan tuhannya. Jika sehari saja manusia tak ingat Tuhannya, maka orang itu akan mengalami kehampaan batin. Hampa berarti ia berada di ruang kosong, tak meÂmiliki pijakan untuk bertindak.
Dalam arus sekulerisme yang telah menjalar di hampir semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa ini, telah melaÂhirkan kehampaan kehidupan. Cara berpolitik para pemimpin negeri ini tak lagi berpijak kepada nilai-nilai spiritual. Pijakan spiriÂtual menghajatkan sebuah kesÂadaran mendalam bahwa apapun tugas yang diemban hakekatnya adalah bentuk penghambaan keÂpada Allah Sang Maha Pencipta. Sebab Allah menciptakan manuÂsia memiliki tujuan spiritual, yakÂni penghambaan dan pengabdian kepada sang Pencipta.
Manusia dilahirkan dan dipilih oleh Allah adalah untuk menjadi sang pengabdi. Allah melarang keras manusia melakukan segala bentuk kezaliman dan kerusakan di muka bumi. Derajat sang khaliÂfah dalam al Qur’an dimaksudkan bahwa manusia hidup di bumi, apapun perannya, adalah unÂtuk menjaga dan merawat bumi dan kehidupan. Segala aspek keÂhidupan, baik politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sosial mestinya berpijak kepada nilai spiritualitas ini. Jika bangsa ini menginginkan keberkahan dan kesejahteraan kehidupan dari AlÂlah Sang Maha Pemurah.
Kehampaan Spiritual
Ketika kepengurusan dan kepemimpinan sebuah bangsa kehilangan spiritualitasnya, maka bangsa itu tak lagi punya pijakan nilai kebajikan dan kesalehan. Kehilangan nilai kebajikan dan kesalehan berarti kehilangan seÂgalanya. Sebab kebajikan dan kesÂalehan adalah akar dari nilai-nilai kebaikan lainnya. Sebab kesaleÂhan selain berdimensi horizontal juga memiliki dimensi vertikal transendental. Tanpa kebajikan dan kesalehan, tata kelola negara hanya akan berpijak pada orientaÂsi materialisme dan pragmatisme. Materialisme adalah refleksi dari kerakusan dan keserakahan.
Orientasi materialisme dan pragmatisme politik akan melahirÂkan model kekuasaan otoriterisme yang abai terhadap nilai spiritual dan kemanusiaan. Fir’aun dan QoÂrun adalah fakta sejarah, dimana materi dan kekuasaan dijadikan tujuan hidupnya tanpa menginÂdahkan kuasa Tuhan dan kemanuÂsiaan. Akibatnya lahirkan sebuah bentuk kekuasaan yang melamÂpaui batas kemanusiaan. Merasa paling berkuasa atas manusia, Fir’aun merasa dirinya telah menÂjadi “tuhan jahat“ bagi rakyatnya sendiri. Orientasi materialisme, baik yang berideologi kapitalisme sekuler maupun sosialisme komuÂnis memiliki muara yang saya : pragmatisme dan anti tuhan.
Politik hampa spiritual hanya akan melahirkan hasrat kekuaÂsaan demi kepentingan pribadi. Politik tanpa spiritualitas akan melahirkan sikap permisivisme, menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Dari paradigÂma materialisme inilah yang keÂmudian menyebabkan “budaya†korupsi, kolusi, nepotisme, maÂnipulasi, janji kosong, grativikasi hingga penyusunan perundang-undangan transaksional yang merugikan rakyat. Itulah sebabÂnya KPK banyak melakukan tangÂkap tangan terhadap politik trakÂsaksional ini.
Ekonomi hampa spiritual hanÂya akan melahirkan ekonomi ribÂawi kapitalistik. Sistem ekonomi kapitalisme adalah sistem yang bertentangan dengan Islam kareÂna tidak berdasarkan nilai halal dan haram, melainkan berdasarÂkan nilai manfaat materi semata. Kapitalisme juga menjadikan keÂbebasan kepemilikan sumberdaya alam melalui mekanisme privatisaÂsi yang diharamkan dalam Islam.
Sebab dalam Islam ada kepeÂmilikan umum, negara dan inÂdividu. Sementara dalam sistem kapitalisme, semua boleh diÂmiliki oleh kapitalis yang memiÂliki modal. Dari sinilah muncul perputaran harta hanya sebatas orang-orang yang tertentu yang disebut kapitalis. Bisa jadi sebuah negara besar dan kaya, namun hanya dikuasai oleh beberapa orang saja. Ekonomi yang kehilanÂgan spiritualitasnya mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keberkahan. Ekonomi kapitalis juga sarat dengan unsur perjuÂdian, penipuan, dan pemerasan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Ekonomi yang bertumpu pada materialisme akan abai terhadap kemiskinan rakyatnya. Ekonomi kapitalis materialistik yang anti Tuhan dan mengabaikan kaum faÂkir rakyatnya dilaknat oleh Allah sebagai sistem yang mendustakan agama. Hardikan Allah tercantum dalam surat al Maa’un ayat 1 saÂmapi 3, “ Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? ItuÂlah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.â€
Ekonomi materialisme kapiÂtalis hanya mementingkan perÂtumbuhan dan produksi dan menÂgabaikan distribusi. Sehingga yang akan tampak hanyalah kekayaan dan kemegahan segelintir orang dan kemelaratan sebagian besar rakyat. Allah mengungkapkan keÂmurkaanNya tentang kondisi ini dalam surat At Takatsur ayat 1-8, “ Bermegah-megahan telah melaÂlaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubun, janganlah beÂgitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janÂganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui, janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengeÂtahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya denÂgan ‘ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)â€.
Hukum tanpa pijakan spiritual akan melahirkan ketidakadilan dan kezaliman terhadap rakyat. Dengan pijakan materialisme, keadilan bisa diperjualbelikan. HuÂkum bisa dipermainkan sesuai dengan kehendak yang memiliki materi. Bagi yang berduit, pelangÂgaran hukum bisa ditukar dengan materi menjadi kebenaran. Bagi yang miskin papa, kebenaran bahÂkan bisa dimanipulasi menjadi sebuah kejahatan dan tak pernah mendapat pembelaan dari seorang pengacara atau kuasa hukum.
Sementara bagi yang kaya telah berderet pengacara yang siap melakukan pembelaan. Tidak jarang seorang kaya, pengacara, polisi, jaksa dan hakim bersekutu menipu Tuhan dan rakyat demi terbebas dari jerat hukum di duÂnia. Mereka lupa jika Tuhanpun memiliki hukum bagi yang berÂsalah dan Tuhan tak mungkin ditipu apalagi disuap.
Pendidikan tanpa spirit ketuÂhanan hanya akan melahirkan pendidikan yang materialistik dan melahirkan manusia tak bermoral. Pendidikan tak bertuÂhan akan menghasilkan manusia tak bertuhan juga, Manusia tak bertuhan hanya akan melakuÂkan berbagai kerusakan di muka bumi setelah diperbaiki oleh Sang Pencipta. Manusia minus moral tak ubahnya seperti binaÂtang yang tak lagi memiliki rasa malu berbuat keburukan. Mereka tak merasa berbuat keburukan, karena dalam benaknya tak ada Tuhan dengan hukum-hukumnya. Bagaimana seseorang merasa berÂsalah, sementara dirinya tak perÂcaya dengan sebuah aturan tenÂtang perbuatan itu ?
Allah berfirman dalam surat Ar Ruum ayat 41, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah meraÂsakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)â€
Kehidupan sosial tanpa spirÂit ketuhanan akan melahirkan kondisi sosiologis yang penuh permusuhan, kebencian, pemÂbunuhan dan kebiadaban. KekejaÂman Hitler yang membunuh jutaÂan manusia menjadi bukti sifat jahat manusia terhadap sesamanÂya jika tak ada Tuhan dalam hatÂinya. Kehidupan berbangsa tanpa spirit ketuhanan akan melahirkan masyarakat liberal materislistik yang tak tahu tujuan hidupnya. Kebahagiaan bagi mereka adalah ketika telah mencapai kebutuhan materi. Sementara manusia tak memiliki batas kepuasan terhaÂdap materi kecuali kematian. AkiÂbatnya masyarakat materialistik akan mengalami stress dan depreÂsi hingga banyak yang melakukan bunuh diri. Untuk apa hidup jika tak memiliki tujuan dan makna yang jelas, mati adalah jalan pinÂtas yang mereka pilih.
Kemajuan sains dan teknoloÂgi tanpa spiritualias akan mengÂhasilkan teknologi yang justru merusak iman dan moral manuÂsia. Teknologi digunakan untuk kerusakan manusia dan kemanuÂsiaan. Senjata diperjualbelikan untuk mendukung peperangan. Teknologi sekuleristik meraup keuntungan materi diatas keÂmatian dan kehancuran manuÂsia lainnya. Teknologi informasi menjadikan manusia yang indiÂvidualistik. Bahkan tidak jarang berbagai kejahatan dan kriminaliÂtas justru terjadi karena inspirasi dari internet. Teknologi sekulerÂistik telah nyata menjadi pemicu kerusakan moral generasi bangsa.
Satu hal yang penting bahwa sesungguhnya ekonomi, hukum, pendidikan, teknologi, sosial dan budaya adalah produk kebijakan politik sebuah negara. Politik yang sekuleristik dan pragmatis transaksional akan mengakibatÂkan kerusakan aspek lain sebagai turunannya. Karena itu spiritualÂisasi politik menjadi kebutuhan mendesak bagi bangsa ini, sebeÂlum lebih jauh terperosok kepada kehancuran. Gerakan desekulÂerisasi politik mestinya menjadi tekad dan kesadaran seluruh peÂmangku amanah negeri ini.
Jika mau merenungkan, bisa jadi seluruh musibah alam seperti gunung melerus, banjir, kekeringan dan gagal panen adalah sebuah peringatan untuk bangsa ini agar menyadari seluruh kesalahan bangsa ini yang telah mengabaiÂkan Tuhan.. Bisa jadi kemiskinan, keterbelakangan dan kriminalitas adalah peringatan Allah kepada bangsa ini untuk segera kembali kepada kebenaran yang Allah titahÂkan. Kembali kepada kebenaran hukum-hukum Allah dalam menÂgatur urusan masyarakat sebagai refleksi spiritualisasi politik bangsa adalah kembali kepada hakekat kemanusiaan itu sendiri. (*)