KEJAYAAN Ciliwung sebagai benteng alam kerajaan pajajaran pupus sudah. Tak lagi jaya, ciliwung kini dilanda krisis. Badan air dan sempadannya terkepung dan dicemari ruang produksi dan ruang hidup artifisial.
Oleh: ANDHIKA VEGA PRAPUTRA

Ciliwung bisa dilihat dari berbagai fungsi. Utamanya sebagai penyedia air untuk berbagai kebutuhan. Data PDAM pada tahun 2012 yang dikutip Badan Pusat StatisÂtik (BPS Kota Bogor) menunjukÂkan terdapat 109.846 pelanggan air. Tiap bulannya, sejumlah 2.671.573 M3 air digunakan. UnÂtuk memenuhinya, PDAM juga bergantung pada sungai. Di Kota Bogor, terdapat 124,59 ha sungai dengan luas sempadan 181,79 ha.
Tak hanya untuk keperluan rumah tangga, air Ciliwung juga dipakai untuk produksi pertanian. Data BPS Kota BoÂgor juga menunjukkan terdapat 750 hektar sawah di kota Bogor yang setiap tahunnya memÂproduksi 4.260 ton padi. Tentu saja sawah itu bergantung pada aliran sungai, Bogor menganÂdalkan 2 sungai besar, Ciliwung dan Cisadane. Ciliwung juga terpaksa menanggung beban populasi dan perilaku wargÂanya. Dengan sekitar 1 juta penÂduduk Kota Bogor, kepadatanÂnya mencapai 8.549 jiwa per kilometer persegi. Belum lagi laju pertumbuhan penduduk yang mencapai 2,38 persen. Di hilirnya di Jakarta, bantaran Ciliwung bahkan ditinggali sekiÂra 250.000 warga.
Banjir Ciliwung
Dengan beban tersebut, DAS ciliwung tak mampu menahan air kala kemarau. Setiap tahunÂnya banjir terjadi di ciliwung, Bogor selalu disebut sebagai pengirimnya.
Perbedaan ketinggian air CiliÂwung di Katulampa bisa mencaÂpai 12 kali lipat dari normalnya. Dari sekira 20 cm rata-rata pada musim kering, bisa mencapai puncaknya 240cm di kala banjir. Di kampung pulo, Jakarta, banjir bahkan merendam rumah warga sampai setinggi 150cm.
Menurut catatan Badan NaÂsional Penanggulangan Bencana (BNPB), Banjir ciliwung tahun 2014 telah berdampak pada 16 ribuan jiwa warga ibukota. Tak cuma itu, seribuan jiwa bahkan terpaksa mengungsi, karena tempat tinggalnya terendam air ciliwung yang meluap.
Kala banjir, tak cuma air yang mengaliri sungai sepanjang 120 km dan melalui 2 provinsi ini. Beragam sampah plastik, alat rumah tangga juga ranting pohon lumrah ditemui.
Seringkali banjir belum juga membuat kita belajar. Seolah banjir Ciliwung adalah peristiwa wajar dan rutin terjadi. Agenda perbaikan Ciliwung lebih banÂyak menyasar pada pengendalÂian banjir, bukan menghindari banjir. Melihat Ciliwung sepaÂruh-separuh, tercerabut dari akar masalahnya.
Upaya Perbaikan Ciliwung
Beragam upaya perbaikan Ciliwung telah dilakukan, di hulu hingga ke hilir. Di hulunya, Puncak, Kabupaten Bogor, semÂpat juga terdengar upaya pemÂbongkaran villa-villa. Namun iniÂsiatif tersebut kalah pamor oleh ramai pelancong yang tak henti membuat puncak macet.
Akhir 2013 lalu PemerinÂtah Kabupaten Bogor gencar melakukan pembongkaran villa di kawasan Puncak. Rachmat Yasin, Bupati Saat itu menyeÂbut pembongkaran bertujuan mengembalikan fungsi lahan sebagai kawasan konservasi, sehingga tidak boleh ada banguÂnan.
Namun nyatanya, dari 239 vila yang telah dibongkar, empat diantaranya sudah mulai berdiri lagi. Pada 22 April 2015 lalu, Forest Watch Indonesia (FWI) merilis temuan sejumlah vila di kawasan Puncak yang telah dibongkar oleh Pemerintah KaÂbupaten Bogor, mulai kembali dibangun pemiliknya.
Keseriusan Pemkab untuk konsisten dan menyelamatkan kawasan lindung Puncak patut kita pertanyakan. Upaya memuÂlihkan wilayah tersebut sebagai resapan air juga perluketegasan pemkab agar tidak ada pembanÂgunan villa baru. Memang upaÂya perbaikan tak akan mudah. Villa-villa tersebut, ditengarai telah lama berdiri. Bahkan sebaÂgiannya juga disewakan untuk kepentingan wisata. Pemerintah Kabupaten Bogor juga kewalaÂhan untuk membongkarnya, karena butuh anggaran dan perÂsonil yang cukup banyak.
Intervensi secara fisik di hilir ciliwung juga seringkali kita dengar. Sebut saja berbagai kanal untuk banjir yang bahkan telah dipikirkan sejak lama oleh pemerintahan kolonial. Namun itu bukan satu-satunya obat bagi ciliwung yang telah lama sakit. Patut kita waspadai jika upaya perbaikan ini berpegang pada skema proyek kanalisasi saja.
Ciliwung Bersih
Di bagian tengah Ciliwung, sebuah inisiatif membuatnya bersih juga muncul. Sampah ciliwung dipunguti dari sungai, sekaligus mendorong kepeduÂlian warga sekitar. Adalah KoÂmunitas Peduli Ciliwung (KPC Bogor) yang berinisiatif mengaÂdakan lomba mulung sampah sungai ciliwung (LMSC). Sejak tahun 2009 KPC Bogor telah menyelenggarakan LMSC dan menjadi agenda tahunan warga bogor beserta pemerintahnya.
Dalam tiga tahun terakhir, KPC mencatat lebih dari 2.000 karung sampah terangkat pada setiap gelaran lomba mulung ciliwung. Bahkan, pada tahun 2012 sampahnya hampir menÂcapai 3.000 karung. Tahun 2013 yang tercatat sebagai lomba mulung sampah sungai denÂgan jumlah peserta terbanyak oleh Museum Rekor Indonesia (MURI), berhasil mengangkat 2.678 sampah dan melibatkan 2.458 warga sekitar sungai CiliÂwung, Kota Bogor.
Kepedulian mulai terlihat, meski partisipasi warga dalam Lomba Mulung Sampah CiliÂwung (LMSC) masih dinamis setiap tahunnya. Sebagai penikÂmat Ciliwung, pertanyaan besar selalu menghantui kami, apakah perilaku warga sudah berubah? Apakah kamu sudah turut menÂgobati Ciliwung? Pertanyaan tersebut, dijawab dengan ajakan “Hayu Koroyok Runtah CiliÂwung!†dalam lomba yang digeÂlar di rangkaian Hari Jadi Bogor ke 533.
Salah satu solusi termudah yang bisa dilakukan warga BoÂgor adalah dengan bergabung dalam Komunitas Peduli CiliÂwung (KPC) Bogor. Peran dan fungsi masing-masing bisa diÂlakukan dengan komunitas ini demi perbaikan sungai Ciliwung. Selain tentu saja ikut menjaÂga dan membuang kebiasaan membuang sampah ke Singai Ciliwung atau sungai manapun. Turun langsung itu lebih kongÂkrit, karena Ciliwung adalah peÂnyangga kehidupan kita semua, warga Bogor, Depok, Jakarta dan sekitarnya. Semoga anda tergugah untuk turun tangan menyembuhkan Ciliwung dari krisis. Ciliwung adalah bagian dari kehidupan Bogor. Bogoh Ka Bogor seharusnya juga Bogoh Ka Ciliwung. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Penulis: Pegiat Komunitas dan
Penikmat Ciliwung, tinggal
dan bekerja di Bogor