KEGADUHAN skandal internasional bernama Pana­ma Papers semakin menghidupkan inisiatif pemerin­tah untuk melegalkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Dari 214.000 nama pengusaha/peru­sahaan yang diperkirakan terekam dalam dokumen kontroversial itu, tercatat sekitar 2.961 nama dari Indonesia yang turut mendirikan perusahaan off­shore di Panama. Pemerintah yang telanjur terjebak dengan target tinggi untuk penerimaan pajak 2016 gerah mengetahui banyaknya potensi pajak yang terabaikan sehingga semakin masif mendorong agar RUU Pengampunan Pajak lekas mendapat legitimasi dari DPR.

Meski sempat timbul tenggelam, isu tax amnes­ty masih tergolong topik yang sering kali mengun­dang perdebatan panjang. Berbagai spekulasi terus mencuat untuk menebak bagaimana hasil akhir yang diterima jika tax amnesty betul-betul diterapkan.

Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro meyakini Panama Papers sudah mengindikasikan secara kuat pentingnya tax amnesty sebagai langkah repatriasi gelembung kekayaan penduduk Indonesia yang tersebar di mancanegara. Di pihak seberang, masih berembus suara-suara penolakan meski perla­han mulai sayup-sayup. Pihak yang belum bersepakat pada umumnya menganggap tendensi politik lebih tampak daripada kemurnian kepentingan ekonomi.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Apalagi tarif untuk memperoleh amnesti terbi­lang lebih “murah” jika dibandingkan nominal pajak yang dibayarkan secara normal. Tax amnesty sudah pernah dilakukan di Indonesia pada medio 1980-an, tetapi realisasinya gagal mencapai target karena le­mahnya mekanisme dan sosialisasi pengantarnya. Indonesia perlu belajar dari negara yang berpengala­man mengelola mekanisme yang tepat agar penge­lolaan pengampunan pajak tidak salah kaprah.

Jika tax amnesty nantinya tidak mampu men­cukupi perkiraan defisit penerimaan dari pajak, pemerintah sudah sewajarnya mulai menggeser ti­tik fokusnya agar realisasi APBN 2016 tidak semakin terombang- ambing.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Sudah banyak versi pemberitaan yang meng­abarkan keraguan target penerimaan negara dari pajak agregat akan mampu tercapai. Sebab, kondisi perekonomian internal dan internasional yang masih fluktuatif serta pertimbangan berbagai instrumen penerimaan pajak yang belum banyak mendukung upaya intensifikasi. Perkembangan proses intensifi­kasi yang ditandai dengan reformasi besar-besaran pengelolaan pajak seperti proses audit yang lebih baik, pengembangan teknologi informasi (TI), pen­guatan pengendalian internal, hingga meningkatkan insentif bagi SDM perpajakan ternyata tidak cukup cepat merangsang agar ruang tax avoidance (peng­hindaran pajak) semakin dipersempit.

============================================================
============================================================
============================================================