Dibutuhkan rekonsiliasi politik untuk memÂperkuat modal sosial antara pemerintah dengan masyarakat selaku pemegang wajib pajak. Dampak dari Panama Papers seharusnya menjadi tonggak reÂformasi lanjutan untuk mempromosikan tata kelola pemerintahan yang semakin prima dan memperkuat kepercayaan publik (terutama berkaitan dengan tuÂjuan investasi dan perluasan lapangan pekerjaan).
Berikutnya, reformasi pengelolaan sistem perpaÂjakan harus diimbangi dengan pembangunan persepÂsi masyarakat bahwa setiap rupiah yang dibayarkan melalui berbagai jenis pajak akan menjadi benefit yang mendukung perbaikan aspek-aspek kehidupan bermasyarakat. Kemudian, target penerimaan pajak perlu direvisi untuk menghindari jebakan psikoloÂgis. Dengan target kenaikan penerimaan pajak di era Presiden Jokowi yang terkesan ambisius,tanpa adanya berbagai gebrakan-gebrakan konstruktif meÂlalui reformasi perpajakan dan pertimbangan kondisi pertumbuhan ekonomi yang alamiah, kinerja perpaÂjakan kita akan selalu dianggap pepesan kosong.
Lalu, jika target penerimaan pajak tahun ini sudah diperkirakan tidak memenuhi target, demi menjaga keseimbangan kapasitas fiskal APBN, pemerintah harÂus berani melakukan efisiensi alokasi belanja. Caranya, bisa dengan mengoreksi ulang mana saja pos belanja yang bersifat tumpangtindih, atau menekan jumlah program dan kegiatan yang sekiranya tidak banyak menunjang visi-misi pembangunan pemerintah.
Terakhir, instrumen Public-Private Partnership (PPP) dan obligasi seharusnya menjadi alternatif utama untuk menutupi defisit pembiayaan. Apalagi peraturan perunÂdang-undangan kita dalam UU Nomor 17/2013 tentang Keuangan Negara juga membatasi defisit pembiayaan sebesar 3%. Mudah-mudahan pemerintah bisa lebih menahan diri untuk kembali menghimpun dana pinjaÂman luar negeri yang hingga saat ini terus bertambah.
Jika pemerintah memang masih yakin dengan sisi positif prospek perekonomian Indonesia di masa mendatang, alangkah lebih baiknya jika posisi ini lebih dimanfaatkan untuk mempromosikan komponen PPP dan obligasi, yang lebih menjanjikan dari sekadar “jalan pintas†melalui utang luar negeri yang belum terbukti bebas dari tendensi kepentingan luar negeri terhadap kebijakan-kebijakan politik di Indonesia. (*)