Menurut Sekretaris AsoÂsiasi Gula Indonesia (AGI), Dwi Purnomo Putranto, situaÂsi ini terjadi karena suplai dan permintaan di pasar tak seimÂbang. Selama pada periode Januari-April, tak ada produkÂsi gula karena masa giling tebu sudah berakhir pada Oktober-November tahun lalu.
Setelah masa giling itu, produsen melepas semua gula ke pedagang. Masa gilÂing tebu baru kembali berÂjalan pada pertengahan Mei atau awal Juni. “Selama JanÂuari-April sudah tak ada lagi pabrik gula produksi. Jadi, suplai di pasar hanya yang diÂpegang pedagang,†ujar Dwi kepada detikFinance, Senin (30/5/2016).
Selain itu, lonjakan harga ini juga terjadi karena produkÂsi nasional belum sebandÂing dengan laju konsumsi. Produksi gula nasional menÂcapai 2,4 juta ton per tahun.
Sedangkan tingkat konÂsumsi mencapai 2,8 juta ton per tahun. Artinya masih ada defisit sekitar 400 ribu ton.
Mengacu pada dua kondiÂsi itu, Dwi mengatakan, tentu saja terjadi kenaikan harga gula di pasar. “Yang jelas pasti ada kenaikan. Januari-April nggak ada produksi karena sudah giling di tahun sebelÂumnya. Kemungkinan barang di pedagang sudah menipis karena padagang tak ada supÂlai, tidak ada impor. Jadi, anÂtara supply and demand tidak seimbang,†tutur Dwi.
(Alfian Mujani|net)