Menurut Sekretaris Aso­siasi Gula Indonesia (AGI), Dwi Purnomo Putranto, situa­si ini terjadi karena suplai dan permintaan di pasar tak seim­bang. Selama pada periode Januari-April, tak ada produk­si gula karena masa giling tebu sudah berakhir pada Oktober-November tahun lalu.

Setelah masa giling itu, produsen melepas semua gula ke pedagang. Masa gil­ing tebu baru kembali ber­jalan pada pertengahan Mei atau awal Juni. “Selama Jan­uari-April sudah tak ada lagi pabrik gula produksi. Jadi, suplai di pasar hanya yang di­pegang pedagang,” ujar Dwi kepada detikFinance, Senin (30/5/2016).

BACA JUGA :  Timnas Indonesia Lolos ke Perempat Final Piala Asia U-23 2024

Selain itu, lonjakan harga ini juga terjadi karena produk­si nasional belum seband­ing dengan laju konsumsi. Produksi gula nasional men­capai 2,4 juta ton per tahun.

Sedangkan tingkat kon­sumsi mencapai 2,8 juta ton per tahun. Artinya masih ada defisit sekitar 400 ribu ton.

BACA JUGA :  Simak Ini untuk Tips Awet Muda, Salah Satunya Tidak Sarapan?

Mengacu pada dua kondi­si itu, Dwi mengatakan, tentu saja terjadi kenaikan harga gula di pasar. “Yang jelas pasti ada kenaikan. Januari-April nggak ada produksi karena sudah giling di tahun sebel­umnya. Kemungkinan barang di pedagang sudah menipis karena padagang tak ada sup­lai, tidak ada impor. Jadi, an­tara supply and demand tidak seimbang,” tutur Dwi.

(Alfian Mujani|net)

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================