PEKAN depan, isu Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) kemÂbali memanas. Karena panasnya, dunia internaÂsional pun mulai menaruh perhatian pada isu ini. Sebagai contoh, pada 9 April lalu majalah terkemuka di dunia The Economist ikut memÂbahas wacana RUU Tax Amnesty. RUU Tax AmÂnesty memang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, bahkan RUU ini termasuk salah satu agenda utama yang harus dibahas dan diselesaikan tahun ini.
Dalam teori ekonomi, kebijakan tax amÂnesty memiliki dua mata pisau. Satu sisi keÂbijakan ini (sebagaimana argumen pemerinÂtah) memang dapat menambah pundi-pundi pendapatan negara, memperluas basis pajak (tax base) dan meningkatkan kepatuhan pajak (tax compliance). Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga dapat kontraproduktif jika tidak diikuti oleh perubahan struktural, perumusan berbÂagai kebijakan berikutnya, tindak lanjut (follow up) serta penegakan kepatuhan pajak (enforceÂment). Karena itu jika pengelolaannya keliru, kebijakan tax amnesty justru dapat menyeÂbabkan semakin banyak orang yang mengemÂplang pajak.
Kebijakan tax amnesty memang sangat populer di berbagai negara. Negara-negara maju seperti Republik Irlandia, Italia, Belgia, Prancis, dan Amerika Serikat atau negara-negÂara berkembang seperti India, Argentina, dan Kolombia adalah segelintir contoh negara-negaÂra yang pernah menerapkan kebijakan ini. Meski sangat populer, ternyata tingkat kesuksesan dan efektivitas kebijakan ini tergolong sangat rendah (Uchitelle, 1989; Luitel, 2005; Luitel, 2014).
Sebagian besar program tax amnesty di berbagai negara gagal memperluas basis paÂjak dan tidak dapat mendongkrak pendapaÂtan negara secara signifikan. Penyebab utama gagalnya program tax amnesty biasanya diseÂbabkan oleh kegagalan negara melakukan peÂrubahan struktural, seperti perubahan tingkat pajak (tax rate) dan penerapan sistem pajak yang lebih profesional.
Selain itu mengevaluasi efektivitas tax amÂnesty sangatlah sulit jika kebijakan ini diikuti oleh perubahan struktural. Sebagai ilustrasi, keÂnaikan penerimaan negara pada konteks ini bisa saja lebih disebabkan oleh perubahan struktural dibandingkan tax amnesty itu sendiri. Dalam kasus ini justru negara rugi dua kali, selain gagal mendapatkan tambahan penerimaan dari para pengemplang, negara juga kehilangan tambaÂhan pendapatan yang berasal dari penalti pajak. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Dari itu semua, yang harus diingat oleh kita terkait kebijakan tax amnesty adalah terÂcabiknya asas dan rasa keadilan sosial. Ini harga yang harus dibayar masyarakat Indonesia bila kebijakan diterapkan. Golongan yang paling diuntungkan dari kebijakan ini jelas hanyalah segelintir orang, yaitu orang-orang super kaya dan perusahaan yang dimilikinya. Kelompok ini biasanya sangat memahami tentang pajak sehingga mereka relatif lebih mudah memanÂfaatkan celah pajak, baik secara legal (tax avoidÂance) atau pun ilegal (tax evasion).
Kekhawatiran tercabiknya rasa keadilan sosial masyarakat jika kebijakan tax amnesÂty diterapkan sepertinya tidak berlebihan. SeÂbagai gambaran, menteri keuangan menyebutÂkan setidaknya dalam dekade terakhir terdapat sekitar 2000 perusahaan (asing) yang tidak membayar pajak dengan total potensi kehilanÂgan negara sebesar Rp500 triliun.
Tidak terbayang sudah berapa ribu triliun rupiah kerugian yang dialami negara setiap taÂhun atas praktek pengakalan pajak selama ini. Di sisi lain, rasa keadilan sosial kita akan tersayat jika kita tengok puluhan juta penduduk lainnya harus banting tulang demi mencari sesuap nasi, setidaknya untuk hari ini dan esok hari. Belum lagi jika kita lihat panjangnya antrean orang keÂcil di rumah sakit, kondisi sekolah yang kurang layak, jalan-jalan yang rusak, dan berbagai permasalahan sosial-ekonomi lainnya. Karena itu sudah semestinya kita semua (khususnya pemerintah dan DPR), menimbang ulang diterÂapkannya tax amnesty di negara ini.(*)
Bagi Halaman