KEKHAWATIRAN banyak daerah untuk mencairkan anggaran dalam APBD guna pembiayaan program dan kegiatan daerah, yang memicu kelambanan penyeraÂpan anggaran, sejatinya tak beralasan.
Pasalnya, dengan telah berlakunya UU No 23/2014 jis UU No 2/2015 dan UU No 9/2015 tentang PemerinÂtahan Daerah (UU Pemda) dan UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP), di satu sisi telah terjadi perluasan wilayah administrasi dalam kebijakan penganggaran dan di sisi lain terjadi penyempitan wilayah pidana korupsi.
Pengaturan perihal inovasi daerah pada Bab XXI Pasal 386-390 UU Pemda dan diskresi pada Bab VI Pasal 22-32 UU AP telah mengontrol secara ketat kriminalÂisasi kebijakan pemerintah daerah, termasuk dalam pencairan anggaran daerah. Kelahiran ketentuan-keÂtentuan tersebut sejatinya ingin mengonstruksi garis demarkasi baru wilayah administrasi kebijakan dengan wilayah pidana korupsi yang selama ini dianggap kabur.
Kian meluasnya wilayah administrasi di ranah kebiÂjakan pemda tersebut, meskipun sering dianggap bertenÂtangan dengan semangat anti korupsi, sejatinya secara normatif telah cukup memproteksi pelaksanaan program dan kegiatan di daerah dari potensi kriminalisasi. Dengan demikian, tak ada alasan bagi ketakutan dikriminalisasi bagi aparatur sipil negara dalam pencarian anggaran daeÂrah yang kini menjadi keprihatinan bagi pemerintah.
Tersendatnya pencairan anggaran daerah oleh seÂjumlah daerah telah menyebabkan banyak daerah tak mampu mengeksekusi program dan kegiatan yang telah direncanakan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah (RPJMD), Rencana Kerja PembanguÂnan Daerah (RKPD), dan Rencana Strategis Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD). Hal ini juga dinilai telah menjadi salah satu pemicu kian memburuknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akibat anggaran daerah tak mampu memberikan stimulus fiskal.
Pasal 386 UU Pemda dengan tegas menyatakan, dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah dapat melakukan inovasi. Inovasi merupakan semua bentuk pembaruan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang harus berpedoman pada sejumlah prinsip pentÂing, seperti peningkatan efisiensi, perbaikan efektivitas, perbaikan kualitas pelayanan, dan sejenisnya.