Bahkan, Pasal 389 UU Pemda menegaskan, dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan pemda dan inovasi tersebut tak mencapai sasaran yang telah ditetapkan, aparatur sipil negara tak dapat dipiÂdana. Namun, pelaksanaan inovasi itu mengharuskan dipenuhinya persyaratan prosedur dan substansi yang cukup ketat untuk mencegah penyalahgunaan weÂwenang dalam pelaksanaan inovasi daerah.
UU AP juga mengatur bahwa pejabat pemerintah diberi kewenangan menggunakan diskresi dalam pelakÂsanaan kebijakan. Namun, penggunaan wewenang disÂkresi tersebut harus didasarkan atas tujuan yang bersiÂfat limitatif, sebagaimana diatur pada Pasal 22 Ayat (2) UU AP, antara lain, melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, dan menÂgatasi stagnasi pemerintahan.
Terdapat sejumlah persyaratan ketat dalam pengÂgunaan diskresi, antara lain harus didasarkan alasan-alasan yang obyektif, tidak menimbulkan konflik keÂpentingan dan didasarkan itikad baik. Diskresi juga tak boleh jadi selubung bagi tindakan sewenang-wenang atau penyalahgunaan wewenang sehingga terdapat prosedur cukup ketat dalam penggunaan wewenang diskresi bagi pejabat pemerintah.
Dalam teori perundang-undangan terdapat salah satu asas penting, yaitu asas kesesuaian (congruency) yang bermakna bahwa UU harus diterapkan sesuai denÂgan tujuan pembentukannya dan harus dicegah perbeÂdaan antara bunyi UU dan penegakannya. Berdasarkan asas tersebut, sejauh norma hukum inovasi daerah dan diskresi diterapkan dalam koridor tujuan pembentuÂkan norma hukum tersebut untuk memperlancar peÂnyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik kepada rakyat, dapat digunakan sebagai rujukan bagi pemda untuk tak perlu khawatir kebijakan-kebijakannya dikriminalisasi.
Dramatisasi ketakutan pencairan anggaran di daeÂrah justru kontraproduktif bagi upaya perbaikan kondisi perekonomian di republik ini. UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara sejatinya juga telah mengatur secara proporsional wilayah administrasi pertanggungÂjawaban anggaran dan tindak lanjut penanganannya secara hukum jika sungguh-sungguh ditemukan indikasi terjadinya tindak pidana korupsi dalam penggunaan anggaran. Pejabat yang bertanggung jawab di bidang anggaran tetap diberikan waktu yang memadai untuk melakukan rekonsiliasi administratif dan hak untuk mengajukan keberatan atas penetapan pembebanan kerugian negara/daerah jika ditemukan adanya inkonÂsistensi dalam pelaporan penggunaan anggaran daerah.
Berkaca pada ketentuan-ketentuan tersebut di atas, sejatinya daerah telah memperoleh jaminan perÂlindungan hukum yang memadai dalam pelaksanaan program dan kegiatan di daerah sehubungan dengan penggunaan anggaran daerah. Bahkan, jaminan perÂlindungan hukum yang diberikan oleh negara melalui serangkaian ketentuan mengenai inovasi daerah dan diskresi telah memperluas jangkauan wilayah adminisÂtratif dalam kebijakan penganggaran. (*)