Bagaimana mungkin orang yang sudah dibataÂsi ruang geraknya oleh hukum masih bisa ‘mengeÂpakkan sayap’ kejahatannya dengan dunia luar? Ada apa gerangan di balik ini, Pak Menteri Hukum dan HAM? Di usia yang genap 70 tahun, Republik ini tentu amat terpukul karena LP masih berselimÂut persoalan narkoba.
Alih-alih keberadaannya mampu menyadarkÂan narapidana, membersihkan ponsel dari dalam penjara saja tidak mampu. Screening pengunjung katanya superketat. Nyatanya aturan ketat itu diterapkan parsial. Padahal, kedudukan LP dalam konteks pembaruan penjara sangat penting dan strategis.
Perubahan nomenklatur penjara menjadi pemasyarakatan dan penyebutan orang di penÂjara yang semula orang hukuman diubah menjadi narapidana tentu bukan tanpa tujuan.
Secara substansial, itu menyangkut sistem penyelenggaraan pemasyarakatan. Warga binaan melalui LP diharapkan menjadi manusia seutuhÂnya, menyadari kesalahan, dan memperbaiki diri sehingga dapat diterima kembali di lingkungan masyarakat.
Sudah banyak sipir yang dipecat gara-gara berÂselingkuh dengan uang. Mereka tak berdaya disÂogok rupiah agar lalu lintas bisnis narkoba yang melibatkan napi berjalan mulus.
Peristiwa memalukan itu merupakan puncak gunung es yang memerlukan reformasi kelemÂbagaan agar khitah LP yang telah digariskan unÂdang-undang benar-benar dilaksanakan. Beberapa persoalan yang terjadi di LP harus segera dibenaÂhi. Perlakuan antarnapi yang diskriminatif, misalÂnya, harus dihapuskan.
Jasa sewa kamar dengan fasilitas mewah untuk narapidana berduit, praktik jual-beli pulsa telpon seluler, jadi kurir narkoba, hingga pungutan liar harus diberantas. Begitu pula kapasitas LP yang kelebihan penghuni hendaknya menjadi perhatian pemerintah untuk segera dibenahi.
Suasana sesak kini dialami hampir seluruh LP di Indonesia. Para penghuni LP kurang diperhatiÂkan kebutuhan fisik dan mentalnya sehingga LP seperti tempat menimba ilmu kejahatan. Ketika napi bebas, semakin lihai dan cenderung menguÂlangi kejahatannya. Inilah yang kedepan harus diÂperhatikan Pemerintah pusat.(*)