Menurut penelitian kayu bidara laut untuk obat malaria, masih bersifat eksploratif dan masih dalam skala laboratorium secara in vitro. “Penelitian tahap berikutnya adalah masih dalam skala laboratorium tetapi secara in vivo. Setelah itu baru dilanjutkan untuk scaling up,” katanya.

Prof Wasri berkeinginan, penelitian yang telah dilakukannya dapat diaplikasikan dalam skala besar untuk memenuhi kebutuhan pasar. Namun, untuk produksi massal tentu saja diperlukan kerjasama dengan lembaga lain yang mempunyai kompetensi dalam cara-cara pembuatan seperti bio-farmaka, fakultas farmasi, atau dengan pabrik obat.

BACA JUGA :  Resep Rendang Kentang untuk Menu Makan Bareng Keluarga Dijamin Bikin Nagih

Tetapi, lanjutnya, bahan baku untuk pembuatan obat tersebut relatif mudah untuk didapatkan, kecuali pohon bidara laut saat ini sudah jarang ditemui sehingga bila akan dilakukan scaling up terhadap obat antimalaria dari pohon bidara laut diperlukan adanya budidaya pohon tersebut. “Untuk membuatnya skala banyak perlu dilakukan budidaya agar dapat memenuhi suplai bahan baku,” katanya.

BACA JUGA :  Ibu Menyusui Harus Tahu! Ini Dia Efek Samping Jika Bayi Kurang ASI

Prof Wasri menambahkan, selain mengembangkan obat antimalaria, ia juga tengah melakukan penelitian terhadap kayu hutan yang dapat menjadi menjadi obat antikanker dan antidiabetes. Pemanfaatan zat ekstraktif kayu menjadi beragam obat tersebut dimaksudkan agar semua bagian kayu dapat dimanfaatkan. Zat ekstraktif yang digunakan bersifat bioreaktif, sehingga sangat ideal bila digunakan sebagai bahan baku industri farmasi.(Yuska Apitya/ant)

Halaman:
« ‹ 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================