Kesadaran yang rendah masyarakat mengenai kekuasaan, dilatarbelakangi oleh tingkat kemiskinan yang mendesak mereka untuk berpikir subsisten. Di sisi lain partai politik sebagai satu diantara pilar demokrasi lebih memilih menjalani fungsi sebagai broker daripada melakukan pendidikan politik, karena pendidikan politik merupakan pekerjaan yang melelahkan daripada sebagai broker yang lebih menguntungkan. ‘Politik uang’ pun telah menjadi rahasia umum, yang cukup ketahui namun tidak pernah diakui, menjadi basis logika demokrasi yang dibangun dari transaksi antara pencari kuasa bermodal, partai politik dan masyarakat.

Implikasi dari demokrasi transaksional tentunya adalah bagaimana mendayagunakan instrumen dan sumberdaya kekuasaan untuk mengembalikan biaya politik yang telah dibelanjakan. Birokrasi sebagai instrumen pemerintahan pada gilirannya menjadi sumberdaya primer potensial yang dapat didayagunakan dalam rangka itu.

Birokrasi yang secara teoritik merupakan representasi pemerintah, memiliki kewenangan untuk melakukan perencanaan, implementasi, dan mengawasi kebijakan dan alokasi sumberdaya ekonomi, dalam rangka menstimulasi pertumbuhan belanja publik. Lebih dari itu, birokrasi juga memiliki kewenangan untuk memonopoli interpretasi atas kebijakan dan alokasi belanja publik atas nama kepentingan publik. Sebagai organisasi yang tidak berorientasi kepada pasar (organization non-market), birokrasi dibiayai oleh pajak, hutang dan hibah. Oleh karena birokrasi-seharusnya- bekerja impersonal dan imparsial.

BACA JUGA :  PENTINGNYA SERAGAM SEKOLAH UNTUK KEBERSAMAAN

Meski keberadaan birokrasi mendukung kerja-kerja pemerintahan. Akan tetapi pemerintah dan birokrasi memiliki karakteristik yang berbeda, Pemerintah lebih merupakan entitas yang terbentuk melalui proses politik dan bekerja untuk mewujudkan agenda kerja yang menjadi visi dan misi politik. Sementara birokrasi merupakan instrumen administrasi yang bekerja dalam prinsip-prinisip administratif dan profesionalisme. Perbedaan ini berimplikasi terhadap relasi birokrasi dan pemerintah tentang bagaimana posisi birokrasi seharusnya terhadap pemerintah.

Dalam konteks Indonesia, penyakit korupsi yang diidap oleh birokrasi telah berlangsung cukup lama, kita akan dapat dengan mudah menjejerkan statistik kasus korupsi yang menjerat sejumlah pejabat publik.

BACA JUGA :  PENYEBAB PEROKOK DI INDONESIA TERUS BERTAMBAH

Indonesia, sesungguhnya telah mengembangkan berbagai instrumen kebijakan untuk melindungi birokrasi dan lembaga pemerintahan lainnya dari moral hazard korupsi, kolusi dan nepotisme, seperti (i) UU No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN,  Inpres No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dengan melakukan monitoring dan evaluasi, Inpres No. 2 tahun 2014 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Demokrasi transaksional, bagaimanapun, telah mereduksi birokrasi dari impersonal menjadi ‘personal’, dari berorientasi publik menjadi ‘private’. Hal tersebut sebagai trade off dari investasi yang dilakukan untuk membeli kekuasaan dari masyarakat  dan partai politik. Pada akhirnya birokrasi beserta sumberdaya yang ada di dalamnya menjadi organisasi yang di’privatisasi’ dalam rangka memberikan keuntungan pribadi dan golongan.

Jual beli jabatan merupakan satu diantara bentuk patologi kekuasaan yang tumbuh dalam lingkungan dan sistem politik yang dikonstruksi dari transaksi politik berbiaya tinggi.(***)

Halaman:
« ‹ 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================