Widya Selvi Kusuma Ningrum, Mahasiswa Ekonomi Syariah. Foto : Istimewa.

Oleh : Widya Selvi Kusuma Ningrum

Mahasiswa Ekonomi Syariah Universitas Djuanda Bogor

“Kenapa sih perempuan selalu di anggap lemah, di remehkan serta di hina?”

SECARA etimologi, perempuan berasal dari kata “empu” (dalam Bahasa kuno jawa), kemudian diserap dan diartikan dalam bahasa melayu yaitu “tuan, mulia, hormat” . Kemudian kata empu ini sebagai imbuhan untuk menjadi kata Perempuan, karena kata empu dalam Perempuan berhubungan dengan kata ampu yang berarti “sokong, penyangga” .

Saya sebagai gadis jawa sudah tidak awam dengan kalimat jawa, bahwa tugas perempuan ialah; macak, manak, masak yang artinya perempuan itu hanya bisa dandan, melahirkan, dan memasak.

Persepsi itu merupakan pemikiran masyarakat jaman dahulu bahkan mungkin masih ada sampai sekarang yang mendorong masyarakat melihat perempuan tidak bernilai apa-apa, dan menempatkan laki-laki pada posisi istimewa, yang di maksud istimewa; laki-laki dibiarkan bergerak bebas dengan mendominasi hal yang cukup luas bukan hanya personal, seperti; Pendidikan, ekonomi, partisipasi politik, sosial, hukum, serta yang lainnya.

BACA JUGA :  Penemuan Mayat Pria Bertato di Pantai Imorenggo

Perempuan dianggap tidak bisa melakukan semua itu, perempuan tidak diikutsertakan dalam hal-hal tersebut karena dianggap hanya pantas mengurus rumah saja. Hal ini disebut budaya Patriarki yang begitu melekat pada masyarakat dahulu hingga sampai sekarang.

Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa atau pemegang kekuasaan utama, dan mendomain keseluruhan sehingga menyebabkan ketimpangan gender; hal tesebut akan berdampak buruk salah satunya Marginalisasi.

BACA JUGA :  APA ITU PATOLOGI ANATOMIK (PA)

Marginalisasi yaitu tindakan mengasingkan atau suatu proses peminggiran yang diakibatkan dengan membeda-bedakan jenis kelamin dan mengakibatkan kemiskinan, ada beragam cara untuk memarjinalkan seseorang maupun kelompok, salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender.

Dalam buku “Membincangkan Damai Aceh” pada sub bab “Perempuan Aceh Ketika Damai: Antara Keluarga, Masyarakat, dan Negara”. Menjelaskan bahwa Perempuan Aceh tidak bebas berekspereksi; di batasi ruang geraknya.

Tentu saja hal ini adalah contoh tidak adil bagi perempuan di Indonesia, yang mana perempuan selalu dianggap tidak bisa apa-apa dan selalu dipatahkan segala hak-haknya.

============================================================
============================================================
============================================================