Oleh: RIBUT LUPIYANTO
Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration) dan anggota Ikatan Dai Indonesia (IKADI)
Tindak terorisme kemÂbali mencederai perÂdamaian peradaban global. Serangan teror Paris pada Jumat (13/11) telah memakan korban 129 orang tewas, 352 orang terluka, dan 99 orang dalam kondisi kritis.
Kesimpulan sementara menÂgarah kepada kelompok ISIS sebÂagai pelakunya. Terorisme meruÂpakan ancaman peradaban yang berkedamaian.
Di sisi lain, peradaban dunia telah memasuki arus modernitas dan globalisasi dengan segala tantanganntya. Islam berpotensi berperan besar dan tampil dalam garda terdepan menyodorkan gaÂgasan mengelola peradaban agar rahmatan lil’alamin.
Upaya membawa kesejahterÂaan dunia membutuhkan langÂkah kolektif. Umat Islam di IndoÂnesia memiliki modal besar dan penting didorong untuk tampil dalam garda terdepan guna mewujudkan peradaban yang adil, sejahtera, dan damai. Modal tersebut adalah karakter Islam di Nusantara yang terbukti eksis mengelola kemajemukan sosial budaya.
Banyak muatan yang dibawa globalisasi; mulai dari politik, ekonomi, sosial, pendidikan, moralitas, budaya sampai pada agama.
Globalisasi bahkan telah melampaui batas-batas politis dan geografis antarnegara. Lebih dari 15 abad silam, jauh sebeÂlum istilah globalisasi sekarang mengemuka ke seluruh pelosok Bumi, Islam telah mendengungÂkan globalisme ajarannya.
Tidak sembarangan, slogan yang telah menjadi prinsip itu diserukan oleh Allah sang PenÂcipta, bukan sekadar buatan makhluk-Nya seperti globalisasi versi Barat yang sarat akan keÂpentingan dunia dan kekuasaan.
“Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam†(Q.S Al-Anbiya’:107), demikianlah proklamasi Islam yang didenÂgungkan kepada dunia atas ajaÂran universal dan globalnya.
Sejak masa Rasulullah SAW, sahabat sampai generasi berikutÂnya membuktikan pada dunia akan pernyataan tersebut, bersÂama Islam kehidupan global bahÂkan bagi kalangan non muslim hidup penuh kesejahteraan, tidak ada diskriminasi seperti yang diÂtudingkan Barat selama ini. Jika globalisasi versi Barat berdiri di atas ikatan kepentingan dunia, globalisasi Islam lebih dari itu; berdasar pada ikatan keyakinan (iman) yang mengintegrasikan asÂpek duniawi dan ukhrowi.
Tantangan selanjutnya bahwa peradaban kini masih diwarnai beragam konflik, intoleransi, penÂjajahan, radikalisme, dan lainnya. Sebagian besar terjadi dalam kaÂwasan mayoritas berpenduduk muslim, baik karena faktor interÂnal, rekayasa eksternal, maupun perpaduan keduanya.
Tidak ada tempat lari dari gelÂombang globalisasi. Bagaimana pun, ia telah menjadi realitas dalam kehidupan global. Islam buÂkan agama eksklusif yang akan meÂnutup rapat-rapat dari modernitas.
Dahulu pernah Muhammad SAW menerima usulan sebagian sahabat agar menggunakan stemÂpel sebagaimana dilakukan para raja untuk legalitas.
Sikap Islam untuk mewarnai arus globalisasi bukan lagi diperÂlukan hanya karena untuk menÂjawab tuntutan zaman, agar tidak dikatakan kuno, sebagai pecunÂdang atau ekstrim semata. Lebih dari itu, substansi akan sikap itu sudah menjadi keharusan untuk mengembalikan kejayaan Islam membawa kesejahteraan dunia.
Saatnya sekarang merevitalÂisasi sistem pendidikan, sistem politik, sistem ekonomi, dan soÂsial budaya Islam, sebagai usaha adaptasi menuju khairu ummah. Secara internal, saatnya mengÂhentikan sentimen golongan yang menimbulkan perpecahan yang justru kontra produktif bagi kebangkitan Islam. Perbedaan adalah sunnatullah.
Upaya Revitalisasi
Dalam rangka membangun atau merevitalisasi peradaban penting dimulai dari level mikro. Indonesia memiliki potensi besar memberikan keteladanan bagi dunia dalam upaya tersebut.
Kuncinya bagaimana kesukÂsesan menyemai keadilan, keseÂjahteraan, dan kedamaian dalam negeri serta menguatkan geopoliÂtik guna mentransformasikannya ke kehidupan internasional.
Beberapa strategi penting diÂperhatikan umat Islam Indonesia dalam optimalisasi kiprahnya meÂnyemai peradaban yang berkeadiÂlan, sejahtera, dan damai.
Pertama, menciptakan konÂdusifitas keberagaman dan keÂberagamaan. Aksi penistaan atau penodaan terhadap suatu agama mesti disikapi secara bijak, tanpa reaksi kekerasan. KH Mustofa BisÂri (2015) melalui akun Twitter-nya @gusmusgusmu pernah memÂberikan wejangan; “Yang menghiÂna agamamu tidak bisa merusak agamamu, tetapi yang bisa meruÂsak agamamu justru perilakumu yang bertentangan dengan ajaran agamamuâ€.
Jalur formal dan konstituÂsional mesti dikedepankan. Nalar akademik penting ditonjolkan daripada kekuatan fisik. KonÂsekuensinya negara harus hadir menciptakan rasa keadilan.
Kedua, memandang masalah konflik, kekerasan, hingga terÂorisme secara komprehensif. Semua ini menjadi kunci mencerÂabut semua akar permasalahan. Permasalahan berbau SARA sering hulunya adalah ketimpanÂgan ekonomi. Untuk itu, penyikaÂpan mesti terpadu dan sinergi linÂtas lini, misalnya dengan upaya pemerataan pembangunan, dan pengentasan kemiskinan.
Ketiga, semua pihak penting menahan diri dan menghindari provokasi. Reaksi kekerasan terÂkadang merupakan respon atas aksi tertentu. Etika verbal dan tulisan penting dijunjung tinggi dengan prinsip toleransi. Atas nama pembelaan monirotas, jangan pula dilakukan dengan tindakan atau ucapan provokatif. Semua meski berada pada kesaÂmaan tensi dan kejernihan berÂpikir.
Keempat, melakukan revitalÂisasi geopolitik Indonesia dengan negara-negara Islam. Diplomasi dan kontribusi lainnya penting diupayakan demi mewujudkan keadilan global. Standar ganda Barat mesti diimbangi dan diÂlawan. Penggalangan dukungan dapat melalui OKI dan PBB. Umat Islam Indonesia mesti tampil terÂdepan dan bangga menunjukkan khasanah Islam nusantara dalam kehidupan internasional. PengalÂaman Indonesia mengelola konÂflik sosial budaya penting ditularÂkan ke dunia internasional. (*)
sumber: Sinarharapan.co