Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyambut baik pengesahan Undang-Undang (UU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) oleh DPR. JK meminta para pengusaha tak menolak pelaksanaan Tapera karena sangat bermanfaat bagi para pekerja. Pengusaha masak menolak dia punya pekerja dapat rumah. Ini kan supaya bekerja nanti lebih tenang, ujar JK di kantornya, Jakarta, Rabu (24/2/2016).
Oleh : Alfian Mujani
[email protected]
Menurut JK, Tapera akan membuat para pekerja yang masuk kategori masyarakat berpengÂhasilan rendah lebih mudah membeli rumah. Sehingga tak perlu kontrak lagi. ‘’Kalau tidak ada rumah, kontrak-kontrak melulu. Bagaimana bisa tenang kerja,†katanya.
JK menambahkan, akan dibuat aturan pelaksanaan berupa peraturan pemerintah (PP). PP itu akan mengatur antara lain mengatur iuran Tapera, bagaimana perhitunÂgannya dan berapa besar iuran yang dikenakan ke pekerja.
Setelah disahkan DPR, UnÂdang-undang (UU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) disambut baik pengembang perumahan, seperti Real Estate Indonesia (REI) dan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI).
Melalui proyek ini, pemerÂintah berharap pembangunan rumah untuk MBR (MasyaraÂkat Berpenghasilan Rendah) segera terealisasi. Saat ini, pemerintah masuk proses peÂnyusunan Peraturan PemerinÂtah (PP) hingga pembentukan Badan Tapera.
Ketua APERSI, Eddy Ganefo, memberikan beberapa catatan terkait pelaksanaan UU Tapera tersebut. Eddy mengatakan, TaÂpera baru bisa dirasakan dampak baiknya dalam 3 tahun ke depan.
“Bisa mendorong. Tapi, tidak mungkin tahun ini. Kita baru bisa lihat 2–3 tahun ke depan lah. Atau mungkin lebih lama dari itu,†ujar Eddy saat dihubungi detikFinance, Rabu (24/2/2016).
Eddy menambahkan, UU TaÂpera belum bisa dijadikan sebagai jalan keluar terbaik bagi pemerinÂtah, pengusaha, maupun pekerja untuk mendapatkan rumah denÂgan cara iuran Tapera.
Pertama, soal besaran iuran yang perlu dikaji ulang agar diÂperhitungkan berapa banyak beban yang nantinya ditangÂgung oleh pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
Setelah disahkan, UU Tapera mewajibkan seluruh pekerja menyisihkan 3% penghasilanÂnya untuk Tapera, termasuk pekerja non-Masyarakat BerÂpenghasilan Rendah (MBR).
“Belum bisa dijadikan sebÂagai jalan keluar bagi pemerinÂtah, pengusaha, maupun rakyat. Karena terkait pemanfaatan TaÂpera, banyak yang wajib ikut tapi tidak bisa beli rumah,†ujarnya.
Kedua, pemanfataan Tapera itu sendiri dikhawatirkan akan menimbulkan ketidak-adilan bagi rakyat. Seperti yang telah diputuskan dalam UU Tapera, seluruh pekerja diwajibkan untuk ikut membayar iuran Tapera, tapi hanya pekerja berÂpenghasilan rendah yang akan mendapatkan rumah dari iuÂran tersebut.
Kecuali bagi pekerja non- MBR dapat mencairkan dana iurannya setelah mereka penÂsiun. “Jangan sampai setelah berjalan, malah berantakan dan muncul ketidak-keadilan di dalamnya,†katanya.
Ketiga, masih menurut Eddy, komite penyusun dan pelaksana Tapera serta strukÂtur-strukturnya harus lebih diÂperjelas.
Keempat, unsur-unsur dari Tapera itu sendiri, yaitu para pelaku pengusaha harus terÂlibat dan dilibatkan semua dalam pelaksanaan Tapera ini.
Terakhir, di dalam UU TaÂpera telah disebutkan mengeÂnai pekerja mandiri yang berÂhak memperoleh rumah dari hasil iuran para pekerja. NaÂmun, pengusaha mikro seperti tukang bakso, mie ayam, nasi uduk, martabak, dan sejenisÂnya tidak disebutkan dalam UU yang baru sehari disahkan tersebut.
Eddy mengatakan bahwa catatan-catatannya itu meruÂpakan usulan yang seharusnya dipertimbangkan oleh pemerÂintah melalui aturan pelaksaÂnaan UU Tapera mendatang.