“Ini meletakkan dasar bagi kita untuk mengekÂsplorasi hal-hal tertentu lebÂih lanjut. Temuan ini belum bisa mengubah apa yang sudah kita lakukan saat ini,†kata John Heymach, kepala departemen kanker leher, dada dan kepala.
Salah satu alasannya adalah bahwa penelitian lanÂjutan diperlukan untuk lebih memahami manfaat dan risiko pengobatan berdasarÂkan gen gender. Lainnya adalah bahwa perbedaan g e n e t i k y a n g diidenÂtifikasi o l e h penelÂi t i , mungÂkin lebih umum terÂjadi di salah satu jenis kelamin dariÂpada jenis kelamin lainnya, tidak terlihat di semua penderita kanker pria atau semua penderita kanker wanita.
Dr. Liang mengatakan, temuannya mungkin memiliki implikasi unÂtuk merancang uji kliÂnis lebih lanjut. Studi ini menemukan bahwa gen kanker yang diseÂbut SRC jauh lebih akÂtif dalam tumor kepala dan leher pada wanita dibandingkan pada pria.
Ahli onkologi sudah mempertimbangkan gender dalam pengobatan dalam kasus-kasus terbatas. MisÂalnya, mutasi terkait faktor pertumbuhan epidermal reseptor, atau EGFR, yang lebih sering terjadi pada wanita yang tidak merokok namun didiagnosis kanker paru-paru. Pasien tersebut tampaknya memiliki progÂnosis yang lebih baik terhaÂdap obat Tarceva.
“Bahkan jika mereka mendapatkan perlakuan yang sama, wanita cenderÂung memiliki hasil yang lebÂih baik daripada pria,†kata Dr. Heymach.
Di luar implikasi pengoÂbatan, hasil penelitian Dr. Liang juga menggambarkan potensi pengumpulan daÂtabase untuk mendapatkan wawasan baru mengenai genetika kanker, kata Roy Herbst, kepala onkologi meÂdis di Yale Cancer Center, di New Haven, Conn.
“Kami jadi berpikir, bahwa pemahaman yang lebih baik tentang biologi dan etiologi kanker akan menghasilkan pengoÂbatan yang lebih baik,†katanya. (Latifa Fitria/ NET)