Sampai saat ini, pelaksanaan THR masih mengacu Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04/Men/1994. Menurut permen itu, yang dimaksud THR adalah pendapatan buruh yang wajib dibayarkan oleh pengusaÂÂha kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan berupa uang atau bentuk lain.
Maka THR sebenarnya kedudukannya sama dengan insentif atas masa kerja atau waktu kerja. Hak ini konkrit menjadi tuntutan kebutuhan hidup kaum buruh beserta keluarganya di tengah situasi ekonomi yang semakin terpuruk saat ini, dimana harga-harga kebutuhan pokok yang semakin tinggi.
Kondisi itu terjadi akibat sejumlah kebijakan pemerintah seperti menaikkan harga BBM, tarif listrik, dan sebagainya, sementara upah buruh sangat minim/rendah. Lihat saja 45 item komponen dalam konsep penyusunan upah misÂÂalnya, selain hanya dihitung berdasarkan kebutuhan hidup minimum bagi buruh lajang, juga tidak ada komponen keÂÂbutuhan hidup buruh untuk mendapatkan tunjangan/biaya dalam menjalankan ibadah, salah satunya adalah merayakan Hari Raya Keagamaan. Sehingga sudah semestinya kaum buÂÂruh mendapatkan hak atas Tunjangan Hari Raya (THR).
Lebih jelas lagi, dalam Permenakertrans tersebut, beÂÂsaran uang THR yang harus diterima seorang buruh adalah:
- Masa kerja 12 bulan atau lebih: 1 x upah sebulan. (upah pokok + tunjangan tetap)
- Masa kerja 3-12 bulan: Jumlah bulan masa kerja x 1 bulan dibagi 12 bulan
- Buruh dengan sistem upah borongan, maka besaran THR dihitung berdasarkan rata-rata tiga upah+tunjangan terakhir yang dibawah pulang. HitunÂÂgan per bulan adalah rata-rata dibulatkan ke atas dari upah tiga bulan tersebut.
Kapan THR harus dibayarkan? Menurut Permen terseÂÂbut, THR harus dibayarkan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamanaan si pekerja. Namun apabila ada kesepakatan antara pengusaha dan karyawan untuk meÂÂnentukan hari lain pembayaran THR, hal itu dibolehkan.
Di sisi lain, banyak cara ditempuh pengusaha untuk menghindar dari kewajibannya untuk membayar THR, dan banyak cara dilakukan untuk melipat-gandakan kerja menjelang hari raya untuk menjaga stok barang. Termasuk membeli hari libur dan lembur dengan upah yang rendah. Beberapa praktik yang umum dilakukan oleh pengusaha yang dapat kita simpulkan diantaranya, adalah:
Pertama, menggunakan alasan yang sangat lazim dan umum dilakukan pengusaha, yaitu perusahaan tidak mampu memberikan THR sesuai ketentuan, seÂÂhingga dengan alasan tersebut pengusaha hanya memÂÂberikan THR atas dasar memampuan dan kemauan dari pengusaha saja, padahal semua majikan/pengusaha seÂÂlama ini tidak pernah terbuka soal keadaan perusahaan yang sebenarnya dan berapa keuntungan perusahaan dari proses produksinya selama ini. Kedua, dengan cara menggunakan tenaga kerja buruh kontrak dan outsourcÂÂing, sehingga dengan alasan status tersebut pengusaha tidak bersedia memberikan THR pada buruhnya meski sudah bekerja bertahun tahun, bahkan puluhan tahun sekalipun. Padahal Menurut Pasal 2 Permen 04/1994, pengusaha wajib membayar buruh yang sudah bekerja secara berturut-turut selama 3 bulan atau lebih, tidak membedakan status buruh, apakah buruh tetap, buruh kontrak, ataupun buruh paruh waktu. Asal seorang buÂÂruh telah bekerja selama 3 bulan berturut-turut, maka ia berhak atas THR. (*)