KABAR aparat tersandung kasus narkoba bukan berita baru di negeri ini. TNI, Polri, hakim, petuÂgas lembaga pemasyarakatan (LP), dan pejabat lainnya pernah digelandang ke gelanggang hukum karena terjerat pikat narkoba. Semakin bertamÂbahnya keterlibatan aparat dalam jejaring narkoba menunjukkan ambang kegagalan memerangi baÂrang laknat itu.
Sebanyak 4.022,7 orang di seluruh Indonesia terindikasi menjadi pemakai narkoba. Ironisnya, lalu lintas penjualan barang haram itu justru dikÂendalikan dari balik LP. Tidak perlu ditampik jika tingkat pengamanan LP masih dinilai lemah.
Sudah tak terhitung dengan jari lalu lintas peredaran narkoba yang dikendalikan dari balik jeruji. Ketika BNN hendak memeriksa narkoba di LP, prosedurnya ketat dan berlapis sehingga kerap kehilangan target. Namun, giliran benda-benda dilarang seperti narkoba dan alat komunikasi bisa masuk dengan mudah ke LP.
Masyarakat tidak terlalu terkejut jika jaringan narkoba diotaki para bandar dari dalam LP karena kasus peredaran narkoba yang melibatkan sipir sudah menjadi persoalan klise yang hingga kini tak kunjung berakhir.
Benteng jeruji yang dibangun kukuh dengan dalih penjagaan superketat akhirnya tak lebih rapuh dari jaring laba-laba. Saat ini perang melaÂwan narkoba sudah gila-gilaan karena mendapat perlawanan terbuka dari para bandar.
Dalam upaya penggerebekan sarang narkoba di kawasan Matraman, Jakarta Timur, misalnya, sejumlah polisi justru dikeroyok kawanan sindikat narkoba hingga berujung tewasnya Bripka Taufik Hidayat. Polisi nahas itu memilih menceburkan diri ke Kali Ciliwung setelah sempat diamuk masÂsa. Lantas mengapa LP tak memiliki tekad kuat memerangi narkoba?
Polisi, jaksa, dan hakim telah berusaha keras menunjukkan peran masing-masing dengan melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntuÂtan, hingga vonis pidana mati terhadap para banÂdar narkoba.
Presiden Joko Widodo juga telah menunjukkan komitmennya mengeksekusi mati beberapa naraÂpidana narkotika. Sebanyak 64 terpidana mati kasus narkotika bahkan tinggal menunggu giliran dieksekusi. Namun, peredaran barang haram di LP tak kunjung surut.
BNN pernah melaporkan seorang terpidana mati kasus narkoba asal Nigeria leluasa menjadi pengendali peredaran narkotika kendati tengah meÂringkuk di LP Pasir Putih, Nusakambangan. Logika awam tentu ganjil melihat peristiwa tersebut.
Bagaimana mungkin orang yang sudah dibataÂsi ruang geraknya oleh hukum masih bisa ‘mengeÂpakkan sayap’ kejahatannya dengan dunia luar? Ada apa gerangan di balik ini, Pak Menteri Hukum dan HAM? Di usia yang genap 70 tahun, Republik ini tentu amat terpukul karena LP masih berselimÂut persoalan narkoba.
Alih-alih keberadaannya mampu menyadarkÂan narapidana, membersihkan ponsel dari dalam penjara saja tidak mampu. Screening pengunjung katanya superketat. Nyatanya aturan ketat itu diterapkan parsial. Padahal, kedudukan LP dalam konteks pembaruan penjara sangat penting dan strategis.
Perubahan nomenklatur penjara menjadi pemasyarakatan dan penyebutan orang di penÂjara yang semula orang hukuman diubah menjadi narapidana tentu bukan tanpa tujuan.
Secara substansial, itu menyangkut sistem penyelenggaraan pemasyarakatan. Warga binaan melalui LP diharapkan menjadi manusia seutuhÂnya, menyadari kesalahan, dan memperbaiki diri sehingga dapat diterima kembali di lingkungan masyarakat.
Sudah banyak sipir yang dipecat gara-gara berÂselingkuh dengan uang. Mereka tak berdaya disÂogok rupiah agar lalu lintas bisnis narkoba yang melibatkan napi berjalan mulus.
Peristiwa memalukan itu merupakan puncak gunung es yang memerlukan reformasi kelemÂbagaan agar khitah LP yang telah digariskan unÂdang-undang benar-benar dilaksanakan. Beberapa persoalan yang terjadi di LP harus segera dibenaÂhi. Perlakuan antarnapi yang diskriminatif, misalÂnya, harus dihapuskan.
Jasa sewa kamar dengan fasilitas mewah untuk narapidana berduit, praktik jual-beli pulsa telpon seluler, jadi kurir narkoba, hingga pungutan liar harus diberantas. Begitu pula kapasitas LP yang kelebihan penghuni hendaknya menjadi perhatian pemerintah untuk segera dibenahi.
Suasana sesak kini dialami hampir seluruh LP di Indonesia. Para penghuni LP kurang diperhatiÂkan kebutuhan fisik dan mentalnya sehingga LP seperti tempat menimba ilmu kejahatan. Ketika napi bebas, semakin lihai dan cenderung menguÂlangi kejahatannya. Inilah yang kedepan harus diÂperhatikan Pemerintah pusat.(*)
Bagi Halaman