Apabila generasi penerus bangsa justru menjadi manusia lelah dan malas, bukankah semua usaha di atas makin menjauhkan mereka dari tujuan yang ingin dicapai? Belum lagi kalau metode mengajar pendidik tertentu yang hanya berbasis hafalan. Anak didik belajar hanya untuk mengejar nilai tinggi. Intelegensi tidak lebih daripada daya ingat dan kemampuan mengulang. Akurasi ingatan dan kemampuan mengulang mendapat pengakuan, sedangkan kemampuan analisis dan berpikir kritis makin menurun (Kompas, 9/10/2012).

Lantas, langkah apa yang perlu ditempuh agar anak bangsa sungguh-sungguh siap menghadapi revolusi 4.0? Pemerintah (Kemendikbud) perlu merancang kurikulum pendidikan yang bernuansa pembebasan dari keterikatan dan sekaligus menumbuhkan kecintaan, bukan penjejalan ilmu secara dini kepada anak didik yang justru akan berakibat pada perlambatan peradaban dan pemaksaan kehendak.

Apabila sudah sejak dini anak-anak kehilangan nuansa kebebasannya dan kecintaannya akibat penjejalan ilmu yang sangat berat, maka sulit bagi mereka untuk berkembang menjadi orang yang kritis, kreatif, inovatif, dan imajinatif. Padahal, unsur-unsur itulah yang sangat dibutuhkan sekarang ini untuk menghadapi revolusi 4.0.

BACA JUGA :  2030 Tak Ada Pembangunan TPA Baru di Kota Bogor, Kok Bisa

Menurut saya, pemerintah tidak cukup hanya menyerukan agar anak-anak bangsa siap menghadapi revolusi industri 4.0. Mesti lebih dari itu, pemerintah harus bisa merancang model pendidikan yang bisa ‘mencetak’ pribadi yang inovatif, kreatif, dan imajinatif.

Dalam rangka ini, rancangan kurikulum pendidikan harus lebih berdasarkan pada pola induksi berupa pembangkitan ilmu pengetahuan menurut anak didik. Anak didik diberi kesempatan untuk berimajinasi terhadap situasi di sekitarnya.

Guru berperan untuk merangsang mereka agar tidak bosan berpikir dan mencari. Artinya, guru harus menjaga suasana dan kultur mencari pengetahuan, bukan menjejali pengetahuan. Memang proses deduktif tetap diperlukan seperti dalam hal belajar berhitung dan membaca, tetapi tetap harus dalam suasana kondusif bagi anak didik mencari tahu (Saefuddin, 2011).

Dengan demikian, pendidikan menjadi tempat untuk menumbuhkan rasa ingin tahu, kreativitas, inovatif, dan imajinatif dalam diri anak didik. Sebaliknya, apabila pendidikan tidak menjadikan manusia kreatif, inovatif, dan imajinatif, jangan harapkan generasi penerus bangsa bisa menaklukkan kemajuan dunia dengan teknologinya yang begitu canggih serta bersumbangsih bagi kemaslahatan umum.

BACA JUGA :  Turunkan Kolesterol dan Gula Darah Tinggi dengan Rebusan Daun Salam, Ini Dia Caranya

Model pendidikan yang berusaha membentuk pribadi-pribadi inovatif, kreatif, dan imajinatif tentu saja perlu diimbangi karakter yang baik. Kita tentu saja tidak menginginkan pribadi yang kreatif, inovatif, dan imajinatif yang minus karakter yang diperlukan untuk kebaikan umum.

Kemendikbud memang sudah mencanangkan pendidikan karakter beberapa tahun lalu. Pendidikan karakter ini hendaknya tidak membuat anak didik hanya terjebak pada ritual belaka. Karakter tidak boleh dianggap sebagai tujuan pembelajaran, tetapi dijadikan efek kumulatif atas pembangunan nalar yang benar di sekolah (Wibowo, 2017).

Adanya nalar di balik pembelajaran karakter sangat diperlukan. Dalam arti ini, ketika anak didik tidak diberi nalar mengapa mereka harus berdoa, berbuat baik, hormat kepada sesama, maka tindakan tersebut hanya akan menjadi ritual teknis belaka. Seperti kebanyakan orang indonesia rajin ke Masjid atau Gereja tetapi korupsi karena tidak memiliki dasar pijakan berpikir untuk berbuat yang baik dan benar. (*)

 

 

 

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================