Risma menyadari, tak mudah menutup se­buah lokalisasi. Terutama, karena ia tahu Pemkot Surabaya tak mungkin bisa menghidupi semua PSK yang ada di tempat itu, setelah penutupan. Namun akhirnya Risma punya alasan yang kuat, tak sekadar kekuasaan dan pijakan hukum, tapi ada aspek kemanusiaan, pendidikan bahkan psikososial, yang melatarbelakanginya.

Salah satunya adalah cerita miris, yang ia dapatkan dari seorang berusia 60 tahun. PSK ini sudah melacurkan diri sejak usia 19 tahun. Di usia senjanya pun ia masih menjalani pekerjaan itu. Pelanggannya adalah anak SD dan SMP, dengan tarif Rp1000-Rp2000, sesuai uang jajan anak-anak tersebut.

Pemerintah kota Surabaya ingin melindungi banyak hal dalam penutupan Dolly. Dari pen­egakan hukum, kemanusiaan, sampai pendidi­kan anak, dan lingkungan sosial anak.

BACA JUGA :  PENTINGNYA SERAGAM SEKOLAH UNTUK KEBERSAMAAN

Nah dalam konteks penutupan lokaliasasi se­cara nasional pun, Mensos punya alasan serupa. Yaitu posisi tegas negara dalam melindungi warg­anya, dari perdagangan manusia yang terlem­baga. Bila lokalisasi tidak ditutup, berarti negara juga melegalkan perdagangan manusia.

Pemerintah memang punya otoritas untuk menutup lokalisasi prostitusi. Karena memang keberadaan lokalisasi selama ini, hanya berdasar­kan kebijakan pemerintahan kota yang tidak merujuk pada UU. Namun pemerintah juga harus menyadari bahwa penghapusan lokalisasi, tidak sama artinya dengan menghapuskan PSK.

Kompensasi uang dan pelatihan keterampilan dan kewirausahaan yang diberikan tersebut, be­lum tentu bisa mengentaskan PSK dari profesin­ya. Tak semua orang bisa menjadi wirausahawan. Jika percaya prinsip Pareto, hanya 20 persen PSK yang berpotensi memanfaatkan bantuan UEP, se­cara baik dan menghasilkan karya produktif.

BACA JUGA :  PENYEBAB PEROKOK DI INDONESIA TERUS BERTAMBAH

Pelacur dan pelacuran di Indonesia, adalah persoalan yang sangat kompleks. Penyebab munculnya pelacuran tak hanya soal kemiskinan (ekonomi). Tapi tingginya aspirasi material dan dukungan budaya, meski peranan kemiskinan tidak dapat diabaikan.

Artinya keberadaan pelacur dan rumah bor­dil, bukan sekadar adanya lokalisasi dan PSK, tapi ada aneka rentetan kepentingan dan bisnis di belakangnya.

Menurut situs Global Black Market Informa­tion, Havoscope, perolehan bisnis pelacuran di Indonesia mencapai USD2,25 miliar, atau sekitar Rp30 triliun setahun. (*)

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================