Oleh : ANGGIT SARANTA (Anggota Komunitas Peduli Ciliwung / KPC Bogor)
SEBAGI ruang hidup siklus hidrologis dan sumber kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sungai sejatinya memiliki pengaruh pada peradaban manusia dan bangsa. Sungai Ciliwung sudah di kenal sejak masa kejayaan Sri Baduga Maharaja yang berkuasa di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482-1521.
Membentang seÂjak dari hulu di provinsi Jawa Barat, berawal dari kompleks PeguÂnungan Gede-Pangrango di seÂlatan Bogor. Selanjutnya sungai sepanjang 120 km ini melewati beberapa kota yang padat penÂduduk seperti Bogor, Depok dan Jakarta.
Ciliwung cukup dikenal karena peran pentingnya bagi kehidupan sekitarnya. Tak hanya urusan kebutuhan konsumÂsi, tapi juga sarana transportasi dan pertahanan.
Saat Pajajaran (1482-1567) masih berdiri sebagai kerajaan Hindu terakhir di pulau Jawa. Banten memerlukan waktu 40 tahun lebih untuk bisa masuk ke ibukota Pakuan, pusat wilayah Pajajaran. Benteng alam peguÂnungan dan dua sungai besar, (Ciliwung-Cisadane) menjadi alasan kuatnya pertahanan PaÂjajaran. Ekspedisi Kapiten Adolf Winkler (1690) membuktikan leÂtak ibukota Pakuan diantara dua sungai besar ini.
Pada tahun 1744, ketika GuÂbernur Jendral Baron Van Imhoff mengadakan lawatan ke Bogor, pandangannya jatuh hati pada bentang alam yang terdiri dari gunung, hutan dan sungai, salah satunya Ciliwung. Tak lama kemudian sang pembesar Hindia Belanda itupun mendiriÂkan rumah peristirahatan di dekat hutan dan sungai itu. Kini kita mengenalnya sebagai Istana Bogor.
Hampir semua percaya bahwa sungai Ciliwung khususÂnya di Bogor memiliki bentang alam yang indah dan kualitas air yang baik. Bahkan diceritakan dibanyak riwayat airnya bisa diminum. Sedemikian jaya-nya seolah tidak ada masalah dengan Ciliwung di Bogor kala itu. Setelahnya perlahan-lahan peran penting Ciliwung mulai terancam dengan banyaknya pencemaran lingkungan, baik yang disebabkan oleh kegiatan industri maupun rumah tangga.
Buruknya kualitas air CiliÂwung dapat dilihat dari fakta temuan spesies ikan asli yang sudah banyak berkurang. SurÂvei biologi yang dilakukan pada tahun 1910 ditemukan 187 jenis ikan asli Ciliwung. Pendataan ikan asli Ciliwung yang dilakukan oleh Komunitas Peduli CiliÂwung (KPC) Bogor tahun 2009 – 2011, tersisa 20 jenis saja ikan.
Beragam jenis sampah dengan mudah bisa ditemui di sungai ini. Aneka tumpukan sampah terlihat nyata sejak di kawasan hulu. Sampah anorÂganik seperti plastik dan sejenisÂnya, bergabung dengan sampah kaleng, Styrofoam, furniture rusak, ban bekas, mainan rusak, baju-baju bekas, sampai dengan limbah elektronik seperti moniÂtor bekas. Coba saja kunjungi Ciliwung dan teliti, kemasan apa yang tidak ada di Ciliwung ?. Bisa diibaratkan Ciliwung menjadi tempat sampah terpanjang.
Ciliwung di Kota Bogor
Ciliwung kota Bogor melintasi wilayah sepanjang 26 km di 13 kelurahan. Yaitu: Kelurahan Katulampa, Kelurahan Tajur, Kelurahan Sindang Rasa, Kelurahan Babakan Pasar, Kelurahan Baranangsiang, Kelurahan SemÂpur, Kelurahan Bantarjati, Kelurahan Kedung Badak, KeluraÂhan Cibuluh, Kelurahan Kedung Halang, Kelurahan Sukaresmi, Kelurahan Tanah Sareal dan KeÂlurahan Sukasari.
Jika kawasan hulu masih diÂjumpai sisa sempadan sungai, memasuki wilayah kota Bogor setelah Katulampa minim sekali ditemukan kawasan sempadan. Rata-rata sempadan Ciliwung sudah berdiri bangunan, meski dalam kemiringan yang curam.
Tak heran jika kemudian Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor meliÂhat kawasan sempadan sepanjang aliran Ciliwung sebagai kawasan rawan bencana (Perda No.8 TaÂÂhun 2011 Pasal 62 Ayat 2 (b).
Dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor 2011-2031, pada bagian ketentuan umum menyebutkan, sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk memÂpertahankan kelestarian fungsi sungai.
Bahkan Pemkot Bogor memasukkan sempadan CiliÂÂwung sebagai kawasan strategis lingkungan bersama sempadan Cisadane (Perda No. 8 Tahun 2011 Pasal 66 Ayat 1 (c).
Meski Ciliwung masuk dalam cetak biru Kota Bogor hingga 16 tahun kedepan, 4 tahun sejak ditetapkannya RTRW tersebut masih belum menjamin CiliÂwung di kota Bogor dalam poÂsisi ideal. Peraturan bisa dibuat, tetapi merubah perilaku perlu proses yang tidak mudah dan murah.
Kenyataan dilapangan meski sudah ada peraturan terÂkait DAS, ribuan warga Kota Bogor telah menetap dan hidup bertahun-tahun di bantaran Ciliwung. Warga sudah mengangÂgap bantaran sebagai habitat mereka, meski masuk wilayah rawan bencana. Artinya tidak cukup jika mengurus kawasan sungai terbatas pada persoalan sempadan jika tak mengurus manusianya.
Dari sisi ekologi, perubahan tutupan lahan di wilayah DAS tak dipungkiri berpengaruh merubah debit air sungai. Debit lebih besar ketika musim hujan dan berkurang pada saat kemaÂrau.